PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID-Kalimantan Tengah (Kalteng) tengah dihadapkan pada fenomena meningkatnya penggunaan pinjaman online (pinjol) oleh masyarakat. Data terbaru menunjukkan, jumlah pinjol yang beredar di wilayah ini telah mencapai lebih dari Rp395 miliar. Kondisi ini menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk akademisi, yang menilai ada risiko besar di balik lonjakan ini.
Dosen Ekonomi Pembangunan FEB Universitas Palangka Raya sekaligus Peneliti di Institut For Economic Research and Training (INTEREST), Suherman menjelaskan, masyarakat lebih memilih pinjol, relevansi dengan maraknya judi online, hingga dampaknya terhadap perekonomian masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah.
Menurutnya, masyarakat cenderung memilih pinjol karena aksesnya yang cepat dan mudah dibandingkan dengan perbankan formal.
“Pinjol itu syaratnya tidak serumit lembaga keuangan lainnya. Tidak ada jaminan yang memberatkan peminjam, sehingga masyarakat merasa lebih nyaman dengan sistem yang instan seperti itu. Selain itu, masih banyak masyarakat di Kalteng, khususnya di daerah terpencil, yang aksesnya terbatas ke perbankan formal,” jelasnya, kepada Tabengan, Jumat (13/12).
Ia juga menambahkan, rendahnya literasi keuangan menjadi faktor lain. Masyarakat belum banyak yang memahami risiko dan biaya tinggi dari pinjol, sehingga tergiur dengan kemudahan, tanpa menyadari konsekuensi jangka panjangnya.
Tingginya angka penggunaan pinjol juga dikaitkan dengan maraknya judi online. Menurut Suherman, ini menjadi salah satu faktor signifikan yang memicu lonjakan pinjol.
“Banyak masyarakat yang terjebak dalam judi online menggunakan pinjol sebagai sumber dana cepat. Mereka tergoda oleh harapan keuntungan instan, tapi justru berakhir dalam lingkaran setan. Dampaknya bukan hanya keuangan individu, tapi juga menimbulkan tekanan sosial dan psikologis,” tegasnya.
Ia juga mencatat, faktor lain seperti minimnya akses ke pekerjaan dengan upah layak turut memengaruhi, meskipun porsinya lebih kecil dibandingkan judi online.
“Meskipun di luar itu ada faktor lain seperti minimnya akses masyarakat ke pekerjaan dengan upah yang layak juga jadi penyebab, tapi mungkin sebagian kecil saja. Selain itu ada juga memang yang tertarik menggunakan pinjol sebagai modal usaha,” ungkapnya.
Suherman menilai, dampak pinjol lebih cenderung negatif, terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang kesulitan melunasi pinjaman.
“Pinjol itu bunganya sangat tinggi dengan sistem denda yang ketat. Hal ini membuat peminjam sulit melunasi utang mereka, yang pada akhirnya mengurangi daya beli karena penghasilan hanya digunakan untuk membayar bunga dan denda. Beban keuangan rumah tangga pun meningkat,” ujarnya.
Ia mengkhawatirkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas ekonomi lokal. Suherman menyebut jika terlalu banyak masyarakat terjebak pinjol, ekonomi lokal dapat terganggu karena uang tidak digunakan untuk kegiatan produktif.
Menanggapi apakah keberadaan pinjol lebih banyak membawa manfaat atau masalah, Suherman memberikan pandangan objektif.
“Pinjol memang memberikan akses pembiayaan bagi mereka yang tidak terjangkau perbankan formal, tapi manfaat ini hanya jangka pendek. Masalah seperti over-lending dan pelanggaran etika penagihan justru lebih sering muncul, terutama dari pinjol ilegal,” tuturnya.
Ia menekankan perlunya pengawasan ketat dari pemerintah, jika tidak diawasi, pinjol lebih cenderung memicu masalah ekonomi jangka panjang. Pemerintah harus tegas terhadap pinjol ilegal, sementara lembaga keuangan formal perlu menyediakan skema pinjaman yang lebih mudah diakses.
Fenomena meningkatnya penggunaan pinjol di Kalteng menjadi alarm bagi pemerintah, masyarakat, dan lembaga keuangan. Selain regulasi yang lebih ketat, peningkatan literasi keuangan juga menjadi kunci agar masyarakat tidak terjebak dalam jerat pinjol yang berisiko tinggi. nws