PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) di Provinsi Kaimantan Tengah (Kalteng) masih tergolong tinggi, dengan jumlah kasus yang ditangani Pengadilan Negeri Palangka Raya mencapai 60 perkara sepanjang tahun 2024.
Polda Kalteng di awal tahun 2025 ini juga merilis tersangka dugaan Tipikor yang terjadi di lingkungan Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Kalteng dengan kerugian negara Rp5.398.566.189. Dengan modus pertemuam di luar kantor yang tidak sesuai dengan aturan.
Pengamat Hukum Muhammad Enrico Hamlizar Tulis mengatakan, kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Disdik Kalteng pada 2014, adalah praktik penyalahgunaan dana yang seharusnya digunakan untuk kegiatan pertemuan dan sosialisasi program sangat mencolok.
“Dari hasil press release Polda Kalteng di situ menyebutkan bahwa dana yang telah dibayarkan ke hotel sebagai biaya akomodasi dan konsumsi seharusnya dipertanggungjawabkan, namun beberapa pejabat yang terlibat dalam kegiatan ini, seperti PPTK dan KPA, mengalihkan sebagian dana tersebut tanpa menyetorkannya ke kas negara,” ucap Enrico kepada wartawan, Kamis (9/1).
Dalam hal ini, pengambilalihan sebagian dana yang telah dibayarkan ke pihak hotel tanpa disetorkan kembali ke kas negara merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip akuntabilitas dan integritas seorang pegawai.
“Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai lebih dari Rp5 miliar, yang seharusnya dapat digunakan untuk keperluan lebih bermanfaat dalam dunia pendidikan, terutama insfratruktur sekolah2 di Kalteng yang masih banyak kurang,” ujarnya.
Menurut dia, tindak pidana seperti ini memperburuk reputasi institusi pemerintah dan merugikan masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat dari anggaran yang ada.
Dikatakan, motif korupsi yang terjadi di Disdik Kalteng penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi pada faktanya tidak menutup kemungkinan juga terjadi di instansi pemerintahan lain. Meskipun ada regulasi dan prosedur yang ketat, dalam praktiknya, banyak pejabat yang memanfaatkan jabatan mereka untuk mengakses dan mengalihkan anggaran atau dana dengan cara yang tidak sah.
“Motif seperti keuntungan finansial pribadi, keserakahan, atau bahkan kecenderungan untuk mempertahankan status quo sering kali menjadi pendorong bagi oknum-oknum yang terlibat dalam praktik korupsi, korupsi dapat terjadi di mana saja terutama di sektor yang memiliki anggaran yang besar dan tidak diawasi secara ketat,” katanya.
Enrico juga memberikan sarannya dalam melakukan pencegahan. Ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya korupsi di instansi pemerintahan. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas, mengimplementasikan sistem pelaporan yang terbuka dan dapat diakses oleh publik mengenai penggunaan anggaran dan kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh negara.
“Pengawasan yang lebih ketat membentuk lembaga pengawas internal yang efektif di setiap instansi, serta memastikan lembaga pengawasan eksternal seperti BPK dan KPK menjalankan tugasnya dengan optimal, penerapan audit berkala yang lebih ketat akan membantu mendeteksi penyimpangan lebih dini,” paparnya.
Kemudian, memberikan pelatihan kepada pejabat publik mengenai etika, integritas, dan kewajiban mereka dalam mengelola anggaran negara, ni juga akan mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang, penggunaan teknologi informasi memanfaatkan sistem teknologi untuk mengelola dan memonitor aliran dana secara real-time.
“Setiap transaksi dapat dipantau secara langsung dan transparan, pemberian sanksi tegas: Memberikan hukuman yang keras dan tanpa kompromi kepada setiap pelaku korupsi untuk menimbulkan efek jera di kalangan pejabat lainnya,” lanjutnya.
Sementara itu, hukuman yang sewajarnya kepada para koruptor yang menggunakan wewenang jabatan. Hukuman sesuai bagi koruptor yang menyalahgunakan wewenang jabatan harusnya mencakup hukuman penjara yang berat, sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berlaku, seperti Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ancaman pidana paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda yang cukup besar, (paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar).
“kepada para pelaku ini mereka juga harus dikenakan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik atau jabatan, serta mempunyai kewajiban untuk mengembalikan seluruh kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi tersebut,” tutup Enrico. mak