RUU KUHAP: Isu Penerapan Prinsip Dominus Litis dalam Perspektif Sosiologi Hukum

Prof. Dr. H. Suriansyah Murhaini, S.H., M.H. Selaku Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya.

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID-Menyikapi pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang salah satu isunya adalah penerapan prinsip dominus litis kepada Jaksa, dikomentari Prof. Dr. H. Suriansyah Murhaini, S.H., M.H. Selaku Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya.

Melalui rilisnya yang dimuat lengkap oleh media ini, Sang Guru Besar tersebut menyatakan, penerapan prinsip dominus litis dalam RUU KUHAP harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keseimbangan institusional, efektivitas sistem hukum, serta persepsi masyarakat terhadap keadilan, karena hukum tidak hanya bekerja secara normatif, tetapi juga dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat sebagai alat mencapai keadilan yang nyata.

Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), salah satu isu yang menjadi perhatian utama adalah penerapan prinsip dominus litis. Prinsip ini memberikan kewenangan utama kepada jaksa sebagai pengendali perkara pidana, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, hingga proses penuntutan di pengadilan. Hal ini tentunya memiliki perbedaan mendasar dengan KUHAP yang masih berlaku sekarang ini yang menerapkan prinsip diferensiasi fungsional. 1. Prinsip diferensiasi fungsional; Prinsip ini menekankan bahwa setiap institusi dalam sistem peradilan pidana memiliki peran dan fungsi yang berbeda dan harus dijalankan secara independen. Polisi, jaksa, hakim, dan pengacara memiliki tugas yang terpisah namun saling terkait dalam proses peradilan.

Dalam konteks KUHAP, prinsip ini menjadi penting untuk memastikan bahwa masing-masing lembaga memiliki kewenangan yang jelas dan tidak tumpang tindih, guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan proses peradilan yang adil. 2. Prinsip dominus litis; Prinsip dominus litis mengacu pada kewenangan jaksa dalam mengendalikan perkara pidana sejak tahap penuntutan hingga eksekusi. Dalam RUU KUHAP Baru, terdapat isu mengenai apakah kewenangan jaksa sebaiknya diperluas hingga tahap penyidikan, sebagaimana diterapkan di beberapa negara dengan sistem prosecutorial investigation. Isu krusial yang muncul dalam kaitannya dengan prinsip ini meliputi: a. Kewenangan jaksa dalam menentukan apakah suatu kasus layak dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan (opportunity principle vs legality principle). b. Peran kejaksaan dalam supervisi terhadap penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian, yang dapat menimbulkan potensi konflik kewenangan.

Bertitik tolak dari isu krusial dalam pembentukan RUU KUHAP Baru, muncul berbagai pertanyaan, sebagai berikut.

  1. Apakah jaksa diberikan kewenangan yang lebih besar dalam penyidikan, seperti dalam sistem inquisitorial, atau tetap mempertahankan model adversarial yang memberikan peran utama kepada kepolisian dalam penyelidikan?
  2. Bagaimana membangun mekanisme kerja sama dan koordinasi yang lebih efektif antara penyidik (Polisi) dan penuntut umum (Jaksa) agar proses hukum berjalan lebih efisien tanpa tumpang tindih kewenangan?
  3. Apakah RUU KUHAP Baru dapat memastikan keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dan perlindungan hak-hak individu, termasuk hak atas bantuan hukum dan prinsip due process of law? Dengan mempertimbangkan prinsip diferensiasi fungsional dan dominis litis, pembentukan RUU KUHAP Baru harus memastikan adanya keseimbangan antara efektivitas penegakan hukum, koordinasi antar-lembaga, dan perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana. Pandangan Ahli terhadap Prinsip Diferensiasi Fungsional Hans Kelsen dalam teori Stufenbau Theorie menekankan bahwa sistem hukum harus memiliki hirarki norma yang jelas dan setiap institusi memiliki peran spesifik agar tercipta kepastian hukum.

Dalam konteks KUHAP Baru, prinsip diferensiasi fungsional mendukung pemisahan tugas yang tegas antara penyidik (polisi), penuntut (jaksa), dan pengadilan. Dari perspektif kepastian hukum, prinsip ini memastikan bahwa setiap tahap dalam proses peradilan pidana berjalan sesuai dengan kewenangan yang telah ditetapkan dalam hukum.

Dari perspektif keadilan hukum, pemisahan fungsi memungkinkan adanya mekanisme check and balance, sehingga mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang. Sedangkan dari perspektif kemanfaatan hukum, prinsip ini menjamin efektivitas dan efisiensi sistem peradilan pidana dengan membagi tugas sesuai dengan keahlian masing-masing lembaga. Namun, kritik terhadap prinsip ini datang dari Jerome Hall, yang berpendapat bahwa pemisahan yang terlalu kaku dapat menyebabkan birokratisasi dan memperlambat proses peradilan, sehingga tidak selalu sesuai dengan asas fair trial yang cepat dan sederhana.

Pandangan Ahli terhadap Prinsip Dominus yang memberikan kendali penuh kepada jaksa dalam perkara pidana didukung oleh Franz von Liszt, yang menekankan bahwa jaksa memiliki posisi yang lebih objektif dibandingkan penyidik, sehingga lebih mampu menilai apakah suatu perkara layak diteruskan ke pengadilan atau dihentikan demi kepentingan hukum yang lebih luas. Dari perspektif kepastian hukum, prinsip ini memberikan struktur yang lebih jelas dalam sistem peradilan pidana, karena jaksa dapat memastikan bahwa hanya kasus-kasus yang memiliki dasar hukum kuat yang dilanjutkan ke pengadilan.

Dari perspektif keadilan hukum, prinsip ini menjamin adanya kontrol terhadap kewenangan penyidik, sehingga mencegah tindakan kriminalisasi atau penyidikan yang tidak objektif. Sedangkan, dari perspektif kemanfaatan hukum, dominasi jaksa dalam mengontrol perkara pidana dapat mengurangi penumpukan kasus di pengadilan, dengan memberikan ruang bagi penyelesaian kasus secara alternatif seperti restorative justice. Namun, menurut Herbert L. Packer, prinsip ini dapat menimbulkan tantangan tersendiri, terutama jika jaksa memiliki kewenangan yang terlalu besar tanpa mekanisme kontrol yang kuat, sehingga berpotensi mengurangi independensi penyidik.

Penerapan Prinsip Dominus Litis dalam Perspektif Sosiologi Hukum Dalam perspektif sosiologi hukum, penerapan prinsip dominus litis dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) memiliki dampak yang luas terhadap dinamika penegakan hukum, keseimbangan kekuasaan dalam sistem peradilan pidana, serta persepsi masyarakat terhadap keadilan hukum.

Prinsip dominus litis, yang memberikan kewenangan utama kepada jaksa dalam mengendalikan perkara pidana dari penyelidikan hingga penuntutan, menimbulkan sejumlah isu sosial dan hukum yang perlu diperhatikan. 1. Pergeseran kewenangan dan ketegangan antar Lembaga; Dalam konteks sosiologi hukum, hukum tidak berdiri sendiri tetapi selalu terkait dengan struktur sosial dan hubungan antar institusi. Jika prinsip dominus litis diterapkan, maka akan terjadi pergeseran kewenangan dari penyidik (polisi) ke penuntut umum (jaksa).

Dalam realitas sosial, Kepolisian selama ini memiliki dominan kontrol atas penyelidikan dan penyidikan. Jika jaksa diberikan wewenang lebih besar dalam mengendalikan penyidikan, potensi konflik institusional antara Kepolisian dan Kejaksaan akan meningkat. Masyarakat yang sudah terbiasa melihat peran Polisi dalam menangani kasus bisa mengalami kebingungan atau ketidakpercayaan jika sistem berubah tanpa sosialisasi yang baik.

Dinamika kekuasaan dalam sistem peradilan pidana harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan friksi yang justru menghambat efektivitas penegakan hukum.

  1. Efektivitas dan efisiensi penegakan hukum di masyarakat; Dari sudut pandang sosiologi hukum, hukum harus mampu berfungsi secara efektif dalam masyarakat. Jika prinsip dominis litis diterapkan secara penuh dalam RUU KUHAP, beberapa persoalan efisiensi dapat muncul: a. Beban kerja jaksa akan meningkat secara signifikan, karena jaksa harus terlibat lebih awal dalam proses penyelidikan hingga penuntutan. b. Di Indonesia, jumlah jaksa masih terbatas dibandingkan jumlah kasus yang ditangani. Jika tidak ada penyesuaian sumber daya, sistem bisa menjadi lambat dan justru menghambat kepastian hukum. c. Dampak sosial bagi korban kejahatan: Jika perkara terlalu lama diproses karena adanya beban administratif
  2. Persepsi masyarakat terhadap keadilan dan akuntabilitas; Masyarakat memiliki persepsi tersendiri terhadap keadilan hukum. Jika Jaksa diberi kekuasaan lebih besar dalam menghentikan atau melanjutkan perkara, maka akan muncul pertanyaan tentang akuntabilitas keputusan Jaksa. Dalam realitas sosial, masyarakat sering kali menilai keputusan hukum secara subjektif, bukan hanya berdasarkan aturan hukum, tetapi juga berdasarkan nilai-nilai keadilan yang mereka anut.

Ketidakpercayaan terhadap institusi hukum di Indonesia masih tinggi, sehingga perlu ada mekanisme pengawasan terhadap kewenangan Jaksa, agar prinsip dominus litis tidak disalahgunakan. Jika masyarakat merasa Jaksa terlalu berkuasa dalam menentukan apakah suatu perkara layak diproses atau tidak, maka bisa muncul dugaan intervensi politik, korupsi, atau kepentingan tertentu dalam sistem hukum.

  1. Dampak pada akses keadilan dan hak-hak masyarakat; Dari perspektif sosiologi hukum, hukum harus berfungsi untuk menjaga keteraturan sosial dan memastikan akses yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Penerapan prinsip dominus litis dalam RUU KUHAP bisa berdampak pada akses keadilan bagi masyarakat: a. Masyarakat rentan (misalnya kelompok miskin dan terpinggirkan) mungkin kesulitan mengakses keadilan jika Jaksa memiliki kewenangan penuh dalam menilai apakah suatu perkara layak diteruskan atau tidak. b. Jika mekanisme pengawasan terhadap keputusan Jaksa tidak kuat, ada risiko bahwa hanya kasus-kasus yang memiliki kepentingan politik atau ekonomi yang lebih besar yang akan diproses secara serius, sementara kasus masyarakat kecil bisa diabaikan. c. Partisipasi masyarakat dalam sistem hukum juga harus diperhatikan. Dalam sistem yang terlalu terpusat pada kewenangan jaksa, masyarakat mungkin merasa tidak memiliki peran dalam mengawasi dan memastikan keadilan berjalan dengan baik.

Melalui pandangan hukumnya, Prof. Dr. H. Suriansyah Murhaini, S.H., M.H, menyimpulkan,  Prinsip Dominus Litis dalam Konteks Sosial Hukum Dari perspektif sosiologi hukum, penerapan prinsip dominus litis dalam RUU KUHAP harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keseimbangan institusional, efektivitas sistem hukum, serta persepsi masyarakat terhadap keadilan.

“Dengan pendekatan sosiologi hukum, penerapan prinsip dominis litis dalam RUU KUHAP harus memastikan bahwa hukum tidak hanya bekerja secara normatif, tetapi juga dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat sebagai alat mencapai keadilan yang nyata,” tegasnya. ist