Kambing Hitam Karhutla, Antropolog: Peladang Mulai Krisis Pangan

PALANGKA RAYA/tabengan.com – Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM) asal Kalimantan Tengah Gauri Vidya Dhaneswara, S.Psi., S.Ant. mengkritik kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Kalteng kerap kali menjadikan peladang sebagai kambing hitam. Peladang bahkan dijadikan tersangka atas perbuatannya membakar lahan untuk berladang.

Gauri menilai, ketegasan pemerintah terdapat berbagai kesalahan dalam menerapkan persepsi. Misalnya, peladang di Kalteng dikatakan memakan lahan karena melakukan peladangan berpindah. Peladang dinilai menjadi sumber karhutla yang berdampak pada kabut asap. Akhirnya pemerintah melakukan pelarangan untuk membakar lahan, termasuk untuk berladang.

“Saya secara pribadi menilai, sekarang ini peladang menghadapi krisis pangan. Di Kabupaten Lamandau ada istilah panggilan untuk kakek, yakni Abu, hasil penelitian yang dilakukan, bagi peladang untuk mendapatkan Rp5 ribu itu sangat sulit. Dulu, peladang cukup mencari ikan di sungai dan berburu dapat mencukupi kebutuhan, mengingat ada beras hasil berladang,” kata Gauri, menjelaskan responsnya terkait larangan peladang membuka lahan dengan cara membakar, di Palangka Raya, Jumat (29/11).

Sekarang, lanjut Gauri, larangan membakar hutan yang diterapkan pemerintah membuat peladang sulit membuka ladang. Dampaknya, beras diperoleh dari mana, meskipun ada ikan hasil berburu. Beras baru bisa didapatkan dengan membeli, sementara uang untuk membeli diperoleh dari mana?

“Memang benar, pemerintah tidak melarang berladang, yang dilarang adalah membuka lahan untuk ladang dengan cara membakar. Meski demikian, sedikit banyak sangat berdampak,” timpalnya.

Sekarang, urai Gauri, karhutla kerap kali menjadikan peladang sebagai kambing hitam. Apabila berladang menjadi salah satu penyebab karhutla, maka bisa dibuktikan di mana daerah yang paling banyak terbakar. Maka, di Palangka Raya akan begitu banyak ladang yang ditumbuhi padi dengan subur.

Berladang, lanjut Gauri, tidak dilakukan di tanah yang bergambut, melainkan di tanah mineral. Akibat larangan pemerintah membakar lahan, sejumlah lumbung dan lahan milik warga terbengkalai. Praktik berladang bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Dayak. Praktik berladang dilakukan sejak masyarakat Dayak mengenal padi. Artinya, sudah diwariskan secara turun-temurun. ded