2 Anak Pejabat Terdata BST Kemensos, Dewan Sarankan Penerima BLT Diberi Tanda

Y FREDDY ERING

PALANGKA RAYA/tabengan.com – Carut marutnya data penerima bantuan sosial (bansos) Provinsi Kalteng mendapat sorotan dari kalangan DPRD Kalteng.

Ketua Komisi I yang juga Ketua Pansus Pengawasan Anggaran Covid-19 Kalteng Yohanes Freddy Ering menilai, kondisi ini wajib jadi perhatian bersama. Bansos itu harus benar-benar tepat sasaran, khususnya bagi mereka yang berhak.

Untuk itu, Freddy mengimbau, agar warga ataupun unsur-unsur yang memang tidak berhak, namun terdata/menerima bansos dari pemerintah, diharapkan secara sukarela berkenan melaksanakan pengembalian.

“Kita harapkan yang terdata, namun tidak berhak serta sudah menerima bansos BST, agar sukarela mengembalikan bansos itu kepada pemerintah,” ujarnya kepada Tabengan ketika dikonfirmasi via WhatsApp, Rabu (3/6).

Keinginan itu sangat wajar mengingat sasaran bansos adalah masyarakat, yang menjadi korban terdampak pandemi Covid-19 dan juga keluarga miskin.

Legislator senior dari PDI-P itu menuturkan, harapan agar bansos tepat sasaran itu sangat beralasan. Salah satu contoh yang wajib jadi perhatian seperti pihaknya menemukan adanya indikasi pejabat senior (IV) Pemprov Kalteng yang masih aktif, dimana 2 orang putra pejabat tersebut terdata sebagai penerima bansos BST Kemensos.

Sebut saja nilainya Rp600 ribu per Kepala Keluarga (KK)/bulan, untuk 3 bulan ke depan (di luar PKH dan sembako). “Saya berharap ini dapat diluruskan, karena yang berhak adalah mereka yang terdampak maupun keluarga miskin,” ujar wakil rakyat dari Dapil V yang meliputi Pulang Pisau dan Kapuas tersebut.

Sebaliknya, Freddy juga mengimbau masyarakat terdampak ataupun masuk kategori miskin yang belum terdata, agar melaporkan diri kepada aparat pemerintah setempat. Seperti RT, RW hingga Kades/lurah. Melalui pelaporan tersebut, maka jumlah maupun jenis ataupun bentuk bansos, termasuk Dana Desa (DD), dipastikan mampu meng-cover masyarakat terdampak/kategori miskin.

Pria murah senyum itu juga menyarankan kepada pemerintah, agar memberikan tanda khusus seperti mengecat depan rumah masyarakat yang menerima bansos dengan warna tertentu.

“Misalnya saja merah bansos pusat, biru bansos provinsi, kuning bansos kabupaten dan seterusnya. Stiker juga bisa menjadi pilihan, walaupun masalahnya bisa dilepas atau dikupas,” jelas Freddy.

Dengan adanya konsep tersebut, maka mampu memudahkan pengawasan sekaligus kontrol sosial antarwarga. Ketika itu diberlakukan, maka warga yang mampu bisa saja menjadi segan atau malu, saat rumahnya diberikan tanda semacam tersebut.

“Bisa saja pemberian tanda ini dikoordinir aparat desa dengan sumber pendanaan dari Dana Desa. Atau terserah pemerintah daerah mempertimbangkannya,” pungkasnya. drn