Hukrim  

LBH Dukung Wacana Wajib Rapid Test bagi Penerima Bansos

Suriansyah Halim

PALANGKA RAYA/tabengan.com – Banyaknya penolakan masyarakat untuk mengikuti rapid test atau tes cepat Covid-19 menyebabkan munculnya wacana mewajibkan rapid test atau tes cepat bagi warga yang akan menerima bantuan sosial.

“Saya mendukung wacana itu. Selama sudah ada regulasi atau dasar hukumnya,” tegas Suriansyah Halim selaku Ketua Lembaga Bantuan Hukum Penegak Hukum Republik Indonesia (LBH PHRI), Jumat (3/7/2020).

Halim yang juga Ketua DPC Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Palangka Raya menyebut sah saja bila pemerintah khususnya Pemerintah Kota Palangka Raya mempraktikkan wacana tersebut dan menjadikan rapid test sebagai salah satu syarat pengambilan bansos.

“Tetapi harus dibuat dulu regulasinya seperti dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) supaya dasar hukum ada, untuk menindak bagi pelanggar sekarang,” saran Halim.

Sanksi harus jelas dan konkret dalam Perwali tersebut jika mau ada kata wajib atau untuk ditaati. “Tapi saran, sebelum buat Perwali, keakuratan rapid test wajib diperbaiki terlebih dulu,” sebut Halim.

Karena masyarakat yang mengikuti informasi tentang Covid-19 mengetahui melalui media bahwa beberapa ahli dan juru bicara presiden sendiri menyatakan bahwa rapid test tidak efektif atau dengan kata lain bahwa keakuratan hasil rapid test di bawah 50 persen.

“Kalau mau, sekalian swap test supaya hasil akurat,” imbuh Halim. Karena sampai dengan sekarang untuk dasar hukum rapid test yang diwajibkan bagi masyarakat belum ada regulasinya yang dibuat baik pemerintah pusat sampai daerah. Sebelum ada kata wajib, maka buat dulu regulasinya supaya kata wajib ada dasar hukumnya.

“Kalau cuma lisan, maka kata wajib hanya sebatas wacana juga,” ujar Halim.

Sebaliknya, Halim meyakini bahwa masyarakat juga memiliki hak untuk menolak ikut terlibat atau menerima rapid test. Untuk menyebut penolakan mengikuti rapid test sebagai perbuatan melanggar hukum atau tidak itu tergantung dari fakta lapangan yang menjadi dasar penolakan warga. Halim menyatakan warga yang menolak mengikuti rapid test belum masuk kategori pidana sebagai pihak yang menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit menular sebagaimana tercantum dalam UU No 4 tahun 1984.

“Menolak Rapid test tidak termasuk dalam unsur menghalangi seperti yang dimaksud dalam UU tersebut,” tutur Halim.

Selama belum ada regulasi tertulis, pemerintah tidak boleh menunda atau menahan pemberian bantuan sosial bagi warga yang tidak mau mengikuti rapid test. Bila terjadi penahanan bantuan sosial sebelum terbit regulasi seperti Perwali maka pemerintah justru dikategorikan melakukan pelanggaran terhadap hak masyarakat.

“Kita negara hukum, maka segala sesuatu wajib ada aturan hukumnya lebih dulu dan wajib mengikuti the rule of law yakni hukuman itu dari peraturan perundangan, bukan dari pejabatnya,” pungkas Halim. dre