PALANGKA RAYA/tabengan.com – Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Palangka Raya akhirnya menolak eksepsi atau keberatan terdakwa korupsi sumur bor atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kamis (13/8).
“Normatif saja. Persoalan dikabulkan atau tidak, itu tidak berimplikasi terbukti atau tidak terbuktinya perbuatan yang didakwakan,” ucap Rahmadi G Lentam selaku Penasihat Hukum (PH) terdakwa Arianto.
Dalam perkara dugaan korupsi sumur bor terdapat dua terdakwa, yakni Arianto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Tengah dan Mohammad Seman selaku Konsultan Pengawas.
Arianto mengajukan keberatan atas dakwaan, sementara Seman memilih langsung menjalani pokok perkara dan mendengar keterangan saksi. Rahmadi dalam eksepsinya bersikukuh bahwa ada ketidak cermatan dalam surat dakwaan JPU.
“Kalau lebih tertib lagi beracara menurut pendapat saya, jika unsur pasal misalnya unsur pasal 2 tentang memperkaya diri sendiri jangan dimasukkan unsur tentang menguntungkan yang merupakan salah satu unsur pasal 3. Tapi ini tidak terlalu disinggung,” urai Rahmadi.
Dia menyatakan tidak terlalu memikirkan masalah penolakan eksepsi itu. Rahmadi menyebut sekalipun eksepsi dikabulkan, hanya menunda proses agar dakwaan dapat jadi lebih sempurna dan diperbaiki.
“Persidangan berlanjut itu juga ada untungnya, karena sebagai modal ke depan,” tandasnya.
Dalam persidangan berikut, Arianto akan menjalani sidang dengan materi pokok perkara dan mulai mendengar keterangan saksi.
Ada Pemalsuan Dokumen?
Untuk perkara Mohammad Seman, sempat terungkap sejumlah fakta menarik. Ahli Sumber Daya Air, Yan Sudarto mengaku, tanda tangannya dipalsukan dalam laporan pengawasan. Yan juga mengakui tidak pernah memeriksa ke lapangan dengan dalih tidak tahu namanya dimasukkan dalam proyek itu. Tapi, dia tidak pernah melaporkan hal ini dan tetap mau menerima Rp8 juta sebagai upah.
Saksi lain, Khairulah mengakui, telah meniru tanda tangan Direktur CV Enggang Pratama Consulindo pada surat penagihan dan invoice.
“Karena atas permintaan pak Seman,” kelit Khairulah.
Sedangkan mantan staf Seman, Fadly Ahmad mengaku mendapat upah Rp15 juta atas jasa membuat laporan pengawasan sumur bor. Dia mengaku hanya menerima laporan dan foto dari Roni yang ditugaskan Seman ke lapangan tapi tidak tahu apakah benar ada pengawasan.
Atas keterangan Fadly, Seman bereaksi keras. “Jangan bohong!” seru Seman. Dia menyebut Fadly juga punya andil dalam pengawasan dan jangan hanya menyalahkan orang lain.
“Saya hanya tahu bayar saja. Saya sudah perintahkan agar Fadly koordinir di lapangan termasuk awasi Roni. Saya hanya terima lap saja,” kata Seman dengan suara keras.
Latar belakang perkara itu berawal ketika Kepala DLH Kalteng selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Dana Tugas Pembantuan untuk kegiatan Pembangunan Infrastruktur Pembasahan Gambut (PIPG) Tahun Anggaran 2018 menunjuk Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan pada DLH Kalteng, Arianto sebagai PPK II.
Pelaksanaan proyek sumur bor sebanyak 700 titik pada Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau seharusnya secara swakelola oleh Masyarakat Peduli Api (MPA), tapi Arianto justru menunjuk pihak ketiga yang tidak berhak untuk menjadi pelaksana.
Mohammad Seman selaku Konsultan Pengawas kemudian melaporkan sejumlah pengawasan yang ternyata fiktif tapi tetap menerima pencairan anggaran. Dua terdakwa dituding melakukan pengawasan fiktif dan mencairkan anggaran dengan pertanggung jawaban administrasi saja. Mereka sempat menjalani penahanan badan pada akhir Januari 2020 dan sejak April 2020 telah dialihkan statusnya menjadi tahanan kota. dre