Hukrim  

Beda Sedekah dan Politik Uang

Mahdianur

PALANGKA RAYA/tabengan.com– Kontestasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah serta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kotawaringin Timur tahun 2020 akan berlangsung dalam waktu dekat. Munculnya money politic atau politik uang turut membayangi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) periode 2020-2025 tersebut.

“Dalam UU Pemilu, sanksi dikenakan kepada pemberi uang atau materi. Sedangkan dalam UU Pilkada, sanksi dijatuhi kepada dua pihak yakni pemberi dan penerima,” tegas Mahdianur, Presiden Perkumpulan Pengacara Muda Indonesia (Permadin), Selasa (8/9).

Mahdianur didampingi rekannya Edi Rosandi menyatakan, modus money politic dapat dilakukan oleh pasangan calon dengan bentuk pembagian uang, pembagian sembako, dan pembagian voucher. Dalam kondisi Covid-19, modus money politic juga bisa saja dalam bentuk pemberian bantuan alat kesehatan, alat pelindung diri (APD), maupun bantuan sosial.

“Namun, tindakan politik uang harus memenuhi unsur mengajak pemilih untuk memilih kandidat calon kepala daerah yang bersangkutan sesuai ketentuan undang-undang. Sehingga dapat dibedakan antara sedekah dan politik uang,” ujar Mahdianur.

Dalam masa kampanye, para pasangan calon benar-benar akan terlihat sempurna tanpa cacat dan cela karena faktor pencitraan yang akan dibuat oleh tim-tim kampanye pasangan calon. Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mendapatkan citra yang baik di tengah masyarakat, para pasangan calon saling berlomba menampilkan yang terbaik guna mendapat simpatik masyarakat dan untuk meyakinkan masyarakat agar memilih dirinya tanpa keraguan sedikit pun.

Sebagai elemen masyarakat yang sangat mendambakan pemimpin yang baik, berkualitas dan bertanggung jawab pada rakyat, tentunya masyarakat dituntut untuk cerdas dalam menentukan pilihan.

“Kita harus mampu membedakan mana pasangan calon yang sifatnya hanya pencitraan, dan mana pasangan calon yang benar-benar dapat mengabdi kepada rakyat,” ujar Direktur Eksekutif Law Firm Mahdi and Associates itu.

Mahdi berharap masyarakat jangan mudah tertipu dengan pencitraan tanpa bukti kinerja yang bagus, apalagi saat ini diliputi kekhawatiran dan rasa was-was di tengah berlangsungnya wabah Covid-19.

“Karena kondisi pandemi ini, ekonomi masyarakat sedang kurang baik sehingga potensi money politic menjadi semakin meningkat dibanding Pilkada-pilkada sebelumnya,” ujar Mahdianur mewanti-wanti.

Dia menguraikan, ada perbedaan regulasi soal larangan politik uang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

“Larangan tindakan politik uang lebih tegas di UU Pilkada,” kata Mahdianur yang pernah mengikuti pendidikan terkait proses Pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Dalam UU Pemilu, unsur yang dilarang bergantung pada tahapan Pilkada yang sedang berlangsung. Sedangkan dalam UU Pilkada, ketentuan unsur yang dilarang itu setiap orang, sehingga tidak membedakan antara tim kampanye dan calon kepala daerah.

Mahdianur menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 unsurnya jelas setiap orang. Sehingga siapapun bisa kena dugaan politik uang tanpa mengenal tahapan kampanye, masa tenang maupun pada hari H pemungutan suara.

Dalam UU Pemilu sanksi dikenakan hanya kepada pemberi uang atau materi. Berbeda dalam UU Pilkada yang mana sanksi dapat berlaku kepada dua pihak yakni pemberi dan penerima.

Mahdianur mengatakan, permasalahan politik uang yang masih marak terjadi di lapangan tidak hanya tugas Bawaslu dan KPUD, melainkan juga tanggung jawab partai politik dan masyarakat.

“Apabila masyarakat menyatakan tidak mau menerima misalnya serangan fajar, maka budaya tersebut akan tertanam di masyarakat untuk menolak segala praktik money politic,” kata Mahdianur.

Menurut Mahdianur, dari segi aspek hukum dan kelembagaan penegakan hukum masih banyak terdapat celah pelanggaran. Regulasi soal larangan politik uang yang tidak diatur rigid dalam undang-undang karena bergantung pada kepentingan pembuat aturan itu sendiri.

Sebab, setiap pengaturan dan larangan itu tentunya menyasar peserta Pilkada atau Pemilu, termasuk partai politik. Sementara, pembuat undang-undang itu sendiri merupakan anggota partai politik.

“Ketika ada orang yang mau menentang penegakan hukum terhadap money politic bisa menjadi alat atau sarana untuk menolak kerangka hukum itu. Karena aspek pembuktiannya kemudian perdebatan hukum sampai ke situ,” pungkas Mahdianur. dre