PANGKALAN BUN/TABENGAN.COM– Ketua Komisi A DPRD Kotawaringin Barat (Kobar) Rizky Aditya Putra menyesalkan putusan hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun yang memvonis bebas PT Kumai Sentosa dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Untuk itu, Rizky mendukung penuh dan mengapresiasi ketegasan dari Kepala Kejaksaan Negeri Kobar Dandeni Herdiana yang akan menempuh upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Menurut Rizky, putusan bebas kasus karhutla yang mendudukkan korporasi PT Kumai Sentosa sebagai terdakwa terus menjadi sorotan banyak pihak. Dan, langkah yang ditempuh Kejaksaan Negeri Kobar sangat tepat dengan mengajukan kasasi.
“Putusan/vonis terhadap PT Kumai Sentosa, kami menilai ada ketimpangan dalam penerapan hukum atas putusan yang diambil dalam kasus karhutla korporasi tersebut. Banyak petani atau peladang saja hampir semua mendapat sanksi hukum, sementara korporasi justru melenggang bebas,” ujar politisi Partai Gerinda, Selasa (23/2).
Sebab, menurutnya, selama ini pemerintah baik pusat hingga daerah tengah gencar menyosialisasikan kepada masyarakat dalam upaya penanggulangan karhutla. Seharusnya juga pemberlakuan sanksi hukum itu berlaku untuk semua.
“Ini tentu menjadi perhatian banyak pihak. Di saat semua lini sedang bekerja keras dalam penanggulangan karhutla, justru kasus karhutla korporasi bebas. Seolah berbanding lurus dengan anggapan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” cetus Rizky.
In Dubio Pro Natura
Prof Dr Bambang Hero Raharjo, Ahli Bidang Karhutla Institut Pertanian Bogor (IPB) pun angkat bicara atas putusan tersebut. Vonis bebas membuat semua yang peduli terhadap lingkungan khususnya akibat karhutla, miris. Sebab, akibat kebakaran gambut tersebut selain melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer yang seharusnya tidak boleh terjadi, juga telah memangsa gambutnya sendiri hingga kedalaman tertentu.
“Saya tidak meributkan putusan, itu adalah hak para ‘Yang Mulia’, yang dengan keyakinannya sampai kepada kesimpulan bahwa kebakaran itu adalah bencana. Namun, yang ingin saya sampaikan itu adalah hak konstitusi warga akan lingkungan yang lebih baik seperti diamanatkan dalam UUD 1945,” beber Bambang kepada Tabengan, kemarin.
Yang menarik lagi, kata Bambang, adalah mengenai bagaimana putusan pidana PT Kumai Sentosa justru mengadopsi kerugian akibat kebakaran sebagai kerugian negara dan bukan kerugian lingkungan hidup seperti diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 dan KKMA No 36 Tahun 2013, sehingga yang berhak menghitung kerugian tersebut BPKP dan bukan mereka yang ditunjuk oleh Dirjen Penegakan Hukum KLHK sesuai PermenLH No 7 Tahun 2014.
Padahal, lanjut dia, semua itu sudah diatur dalam KKMA No 36 tahun 2013. Apalagi salah seorang anggota majelis hakimnya telah bersertifikat lingkungan hidup setelah lulus melalui pelatihan sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup (LH) MA.
“Seharusnya ‘Yang Mulia’ itu tahu persis isi KKMA tersebut, apalagi dengan jargon In Dubio Pro Natura. Putusan PN tersebut secara tegas menyatakan bahwa tampaknya KKMA No 36 Tahun 2013 tidak terlalu mendapat perhatian, padahal KKMA tersebut mengatur tentang penanganan perkara lingkungan hidup,” tegasnya. c-uli