PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM– M Abdul Fatah langsung bersujud syukur dari kursi terdakwa usai Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sampit memutuskan vonis bebas dari dakwaan perkebunan tanpa izin dalam kawasan hutan, Selasa (23/2/2021).
Fatah terjerat hukum setelah aparat Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya menangkap Fatah dan menyita ekskavator sewaannya.
Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Ike Liduri memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengembalikan satu unit ekskavator kepada Maman yang merupakan pemiliknya melalui terdakwa.
Selain itu, majelis hakim memerintahkan JPU untuk memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya. Atas putusan majelis hakim tersebut, JPU menyatakan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
“Majelis hakim sangat adil dan tepat dalam memberikan putusan tersebut,” tanggap Rendha Ardiansyah, selaku penasihat hukum terdakwa usai persidangan, Rabu (24/2).
Terkait upaya kasasi JPU, Rendha menyatakan telah siap, karena sejak awal meyakini kliennya tidak melakukan kesalahan.
Perkara berawal ketika Abdul Fatah membeli 6 petak lahan berupa perkebunan sawit lama di Desa Ayawan, Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan. Pihak BPPHLHK datang dan menyita alat berat ekskavator sewaan yang digunakan untuk membersihkan lahan dengan alasan lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan produksi, Kamis (17/9).
Fatah menyatakan, lahannya merupakan kawasan hunian dan perkebunan desa berdasar keterangan dari kelurahan dan kecamatan serta telah memiliki Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT). Tanah itu juga telah menjadi lahan sawit sejak tahun 1982 oleh penduduk sekitar.
Selain itu, tanah masuk dalam kawasan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan saat ini pengajuannya telah berproses. Meski begitu, BPPHLHK menetapkan Fatah sebagai tersangka atas tindak pidana dalam Pasal 17 ayat 2 huruf b jo Pasal 92 ayat 1 huruf a UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Rendha menuding BPPHLHK tidak mengindahkan Pasal 30 Perpres No 8/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH). Proses PPTKH berdasar tahapan inventarisasi, verifikasi, penetapan pola penyelesaian, penerbitan putusan penyelesaian, dan penerbitan sertifikat hak atas tanah. Dalam Pasal 30 huruf b menyatakan instansi pemerintah tidak melakukan pengusiran, penangkapan, penutupan akses terhadap tanah dan atau perbuatan yang dapat mengganggu pelaksanaan PPTKH.
Selain mendampingi Abdul Fatah dalam persidangan perkara pidana, Rendha juga telah mengajukan dua gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap BPPHLHK di Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya dan PN Sampit.
“PMH di PN Palangka Raya kita minta ganti kerugian akibat penyitaan yang dilakukan secara tidak sah. Di PN Sampit terkait BPPHLHK yang melakukan PMH tentang penyelesaian sengketa tanah,” pungkas Rendha. dre