PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM- Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) Safrudin Mahendra menjelaskan, pada November 2020 lalu, SOB mendapatkan informasi terkait dengan program Food Estate di Kabupaten Gunung Mas, tepatnya di Desa Tewai Baru. Atas informasi tersebut, SOB turun ke lapangan melakukan overlay sesuai dengan titik koordinat.
Hasilnya, kata Safrudin, ada seluas lahan sekitar 600 hektare yang sudah dibuka untuk pengembangan bibit singkong. Mengejutkan juga, lahan yang dibuka tersebut masuk dalam kawasan hutan produksi. Diduga, skema yang digunakan pemerintah adalah dengan menggunakan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No 24 Tahun 2020, walaupun sejumlah pasal bertentangan dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Padahal, Safrudin menyesalkan lahan yang dibuka itu memiliki tutupan atau kanopi yang sangat bagus dan luar biasa, diameter kayu mencapai 40 cm ke atas. Lahan yang dibuka ini digantikan dengan tanaman singkong.
“Informasi yang didapatkan juga, warga yang bekerja di lahan pengembangan singkong bukanlah warga lokal, atau warga Desa Tewai Baru dan sekitarnya, justru didatangkan dari desa ataupun provinsi lain. Penduduk lokal hanya jadi tukang masak, pengelola lahan pertanian dari Kalsel. Hasil monitoring yang dilakukan itu merupakan langkah awal yang dilakukan pemerintah dalam mengembangkan Food Estate komoditi singkong di Kabupaten Gunung Mas,” kata Safrudin, saat menyampaikan hasil monitoring rencana Food Estate di Kabupaten Gunung Mas di Palangka Raya, Senin (26/4/2021) lalu.
Pengembangan komoditi singkong ini, lanjut Safrudin, dikelola langsung oleh Kementerian Pertahanan. Program Food Estate di Kabupaten Gunung Mas menambah daftar program penghancuran di Kalteng. Food estate yang ada di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau merupakan program yang menambah kehancuran di Kalteng.
Pemerintah, kata Safrudin, membuat potensi bencana yang semakin tinggi. Tidak saja bencana alam atau ekologi, tapi juga potensi konflik juga akan tinggi. Skema pemerintah dalam membawa transmigran untuk mengelola Food Estate, tentu akan membuat pertentangan dari masyarakat. Food Estate di Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten Gunung Mas untuk pengembangan singkong, apabila tidak transparan, maka pemerintah harus siap dengan skema penanggulangannya.
Menurut Safrudin, pemerintah juga harus siap dengan risiko konflik yang dibuat pemerintah. Misalnya, pemerintah lebih mengandalkan para pekerja dari provinsi, dibandingkan masyarakat lokal, maka dikhawatirkan menimbulkan konflik yang lebih besar nantinya. ded