Hukrim  

Mantan Sekda Berhak Gugat Gubernur

Praktisi Hukum Kalteng Guruh Eka Saputra

PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM– Penggantian Fahrizal Fitri selaku Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) kurang dari 2 pekan setelah Gubernur Kalteng dilantik, terus mendapat sorotan masyarakat. Fahrizal mengaku tidak tahu alasan penggantiannya karena sebelumnya tidak ada peringatan ataupun pemberitahuan mengenai kesalahan.

“Mantan Sekda punya hak untuk menggugat SK pergantian jabatan yang tidak sesuai dengan peraturan pada Pengadilan Tata Usaha Negara,” kata praktisi hukum Kalteng Guruh Eka Saputra, Minggu (6/6/2021).

Pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalteng Sugianto Sabran dan Eddy Pratowo dilantik oleh Presiden RI Joko Widodo pada 25 Mei 2021. Hanya berselang kurang dari 2 minggu sesudahnya, terjadi pergantian Sekda Provinsi Kalteng.

Katma F Dirun, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Kalteng, berkilah pemberhentian Fahrizal lantaran berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI.

Guruh yang berprofesi advokat berpendapat BKD tidak dapat begitu saja berdalih penggantian pejabat provinsi karena adanya Surat Keputusan Presiden. Dalam PP Nomor 9 tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS, dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, tegas mengatakan bahwa pemberhentian Sekda Provinsi ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian daerah provinsi.

Pejabat pembina kepegawaian daerah provinsi adalah gubernur. Pengangkatan dan pemberhentian jabatan Sekda Provinsi  memang oleh presiden tapi tetap dengan usulan penetapan gubernurnya.

“Usulan ini harus berdasarkan alasan hukum yang sah. Contoh, yang bersangkutan berhalangan permanen atau sedang menjalani proses pidana. Bukan didasarkan pada alasan politis atas dasar suka dan tidak suka. Jadi ya ujung-ujungnya tetap berawal rekomendasi usul gubernurnya,” ujar Guruh.

Dia mengacu kepada norma hukum dalam UU Nomor 10 tahun 2016 dalam Pasal 71 ayat (2) yang mengatur larangan bagi kepala daerah melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri.

Aturan dalam Pasal 162 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 tegas menyebutkan bahwa gubernur yang akan melakukan  penggantian  pejabat di lingkungan pemerintah provinsi dalam jangka waktu 6 bulan terhitung  sejak  tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri.

Pasal 162 ayat 3 memiliki frasa ‘yang akan’ berarti bahwa dalam waktu 6 bulan setelah dilantik bisa saja gubernur mengganti pejabat di lingkungan pemerintahan daerahnya dengan izin menteri.

“Izin ini harus diperoleh dulu, baru dapat diganti pejabat yg bersangkutan,” ucap Guruh.

Artinya, pergantian Sekda itu boleh-boleh saja, tetapi harus mendapat persetujuan tertulis menteri. “Bila belum ada izin, berarti ada pelanggaran undang-undang oleh kepala daerah,” papar Guruh.

Meskipun undang-undang tidak mengatur sanksi berupa pidana tapi secara manajemen pemerintahan daerah, maka kepemimpinan kepala daerah tersebut akan mendapat predikat sebagai pemerintahan yang buruk, karena dalam keputusannya melanggar peraturan perundang-undangan secara administratif.

Implikasinya, ada kesempatan bagi mantan pejabat yang merasa ada pelanggaran peraturan dalam penggantiannya untuk menggugat kepala daerah ke pengadilan.

Guruh menyebut bisa juga muncul dalih usulan itu sudah dimohonkan dan izin menteri sudah diterima sewaktu kepala daerah masih menjabat di periode pertama selaku petahana, lalu setelah menjabat kedua kalinya, artinya sudah punya syarat-syarat yang ada. Ini menjadi ruang kosong untuk mengakali pergantian itu.

“Kita tidak tahu pasti bagaimana duduk perkara dan pemenuhannya yang sebenarnya. Data itu, hanya lingkungan gubernur yang mengetahuinya dengan pasti. Mungkin saja ini memang murni politik  yang menjadi alasan tersiratnya,” pungkas Guruh. dre