PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM- Penyekatan mewarnai sejumlah jalan protokol Kota Palangka Raya selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk penanggulangan pandemi Covid-19. Meski sebagian masyarakat merasa terkendala akibat penyekatan jalan, ada praktisi hukum yang menganggapnya belum melanggar hak masyarakat, tapi dengan sejumlah catatan.
“Memang hak setiap orang untuk menikmati akses jalan yang ada, karena kita pun membayar pajak untuk itu. Tapi dalam aspek perwujudan, perlindungan dan penjaminan pelaksanaan HAM itu negara (pemerintah) memiliki kewenangan untuk membatasai atau mengurangi pelaksanaan HAM warganya,” pendapat Guruh Eka Saputra, Selasa (13/7).
Menurut Guruh, pembatasan HAM itu sejalan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Jadi penutupan akses jalan itu juga sudah diatur kewenangan dan dasar hukumnya dalam peraturan perundang-undangan terkait.
“Bila dikaitkan lagi memang ini adalah masa pandemi atau darurat kesehatan, jadi penutupan akses jalan itu tidak bertentangan dengan hak masyarakatnya,” kata Guruh.
Namun, ia menyoroti efektivitas dari penutupan akses jalan protokol ini yang menurutnya harus dievaluasi ulang oleh pemerintah kota.
“Dengan penutupan akses itu lalin masyarakat malah terpusat ke satu titik jalan alternatif. Apakah kebijakan penutupan jalan ini efektif dalam memutus penyebaran virus? Tapi ternyata lalin malah terfokus ke titik-titik jalan alternatif lainnya. Sama aja itu hanya sekadar memindahkan titik kepadatan lalu lintas,” tutur Guruh.
Peninjauan ulang perlu dilakukan saat penerapan penutupan akses jalan ptotokol itu selama PPKM karena ternyata justru dengan ditutupnya akses jalan, ada penumpukan arus lalu lintas pengguna jalan. Penumpukan terjadi karena para pengguna jalan memutar mencari alternatif akses jalan lainnya dan arus lalu lintas pengguna jalan pasti sedikit terpusat pada satu titik jalan alternatif.
Dengan demikian, penutupan akses jalan protokol itu tidak efektif karena masyarakat di pagi, siang, sore masih beraktivitas terutama arus lalu lintas pengguna jalannya.
“Urgensi itu yang harus dievaluasi dan dikomunikasikan oleh Pemko kita,” saran Guruh.
Dia menyebut efektivitas dan urgensi kebijakan memang harus tepat guna karena hukum atau peraturan itu dibuat untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat. Evaluasi urgensi dan efektivitasnya. Satgas tidak punya kewenangan menutup akaes jalan karena merupakan kewenangan Direktur atau Kasat Lantas.
“Sehingga dalam evaluasinya, Satgas, Direktur Lalu Lintas, Kasat Lantas, dan Dishub harus benar-benar bisa memberikan efektivitas dan urgensi dari penutupan akses jalan itu, terutama dalam memutus rantai virus ini di masa PPKM,” katanya.
Meski begitu, Guruh menolak berkomentar terkait kemungkinan munculnya klaster baru akibat penyekatan jalan.
“Kalau soal potensi klaster baru, mungkin pihak tenaga kesehatan yang lebih berkompeten,” pungkas Guruh. dre