PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM-Secara bahasa moderasi berasal dari bahasa latin moderateo yang berarti kesedangan, atau tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Orang moderat berarti bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Sikap moderasi beragama, diyakini mampu mencegah paham radikalisme yang mengarah pada gerakan terorisme.
“Dalam bahasa Arab moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah yang memiliki padanan dengan kata tawassuth (tengah-tengah), I’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith,” ungkap Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kalimantan Tengah DR Khairil Anwar, Kamis (23/9).
Pandangan tersebut diungkapkan Khairil pada kegiatan pembinaan penanggulangan, dan pencegahan radikalisme, dan intoleran bagi personil Polda Kalteng. Selain FKPT Kalteng, hadir sebagai narasumber dari Forum Kerukunan Umat Beragama.
Dijelaskan Khairil, secara istilah, moderasi beragama berarti cara pandang, sikap, dan prilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Ketika pemahaman tidak radikal, dan ekstrim, tentu mampu mencegah gerakkan terorisme.
“Idikatornya, komitmen kebangsaan dengan setia kepada 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan bernegara (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika),” jelas Khairil.
Kemudian, lanjutnya, toleransi interumat beragama, antarumat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah, anti-kekerasan verbal, fisik, dan pikiran dalam melakukan perubahan sistem sosial dan politik, melainkan menjunjung musyawarah, demokrasi dan aturan hukum yang berlaku.
Selanjutnya, sambung Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya, akomodatif terhadap budaya dan kearifan lokal seperti internaslisasi nilai-nilai budaya Huma Betang. Media pencegahan paham radikal melalui moderasi beragama terletak pada peran keluarga, peran guru dan dosen, peran tokoh masyarakat, peran tokoh agama.
“Komunitas dan lingkungan (RT dan RW), punya peran penting juga. Melihat pontensi radikalisme terorisme diperlukan sistem peringatan dini (early warning system),” tegasnya.
Dijelaskan Khairil, terorisme merupakan menurut UU Nomor 5 tahun 2018 adalah, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta bernda orang lain atau mengakibatkan kerusakan, kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Terorisme, kata Khairil, suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrem (Kamus). Mindsetnya pembunuhan atau bom bunuh diri, penyerangan terhadap aparat pemerintah dan instansi pemerintah, tempat ibadah, tempat keramaian umum, dan tokoh-tokoh agama.
“Mereka sangat yakin yang dilakukan jihad, dan kalaupun mati, diyakini mati dalam keadaan syahid, masuk surga, bertemu dengan bidadari. Itu pentingnya moderasi beragama, sehingga tidak membentuk paham radikal, dan ekstrim,” tegas Khairil.*