PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM– Sejumlah besar tenaga kontrak (tekon) pada jajaran perangkat daerah Provinsi Kalimantan Tengah terpaksa berhenti bekerja sejak akhir tahun 2021. Sebagian mantan tekon yang telah bekerja cukup lama bahkan hingga belasan tahun mengaku kesulitan mencari nafkah karena tidak memiliki pekerjaan lain.
“Pemerintah daerah (Pemda) boleh saja melepas para tekon. Tetapi hak-hak dari para tekon wajib diberikan. Kalau tidak diberikan, maka siap-siap Pemda digugat secara massal oleh para tekon tersebut,” kata Ketua LBH Penegak Hukum Republik Indonesia, Suriansyah Halim, Rabu (12/1).
Gelombang penonaktifan tekon di wilayah Kalteng dimulai dari Surat Edaran Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng No 800/844/II.1/BKD menyatakan penempatan tekon atau Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN) hanya berlaku sejak 1 Juni 2021 hingga 31 Desember 2021.
Hanya PPNPN pada rumah sakit daerah, rumah jabatan gubernur, wakil gubernur dan Sekda, serta tenaga kebersihan, sopir, maupun tenaga keamanan yang dipertahankan. Sisa tekon atau PPNPN lainnya dinonaktifkan hingga Uji Kompetensi PPNPN 2022 selesai.
Halim mengingatkan tentang peraturan dan perundang-undangan tenaga kerja yang sifatnya melindungi pemberi kerja dan pekerja. Pemberian gaji dan atau tunjangan terakhir dianggap Halim berbeda dengan hak pekerja seperti yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan karena negara telah menjamin hak-hak tekon sebagai pekerja.
Hak yang dia maksud berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak atas cuti tahunan, biaya pulang ke tempat asal, biaya penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan serta hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja sama.
Pemda sebaiknya tidak melepas begitu saja mantan tekon yang telah turut berjasa dalam menjalankan kegiatan pada kantor pemerintahan. Misalnya, Pemda dapat memprioritaskan para mantan tekon untuk mengikuti pembinaan pada Balai Latihan Kerja atau lembaga lainnya sebagai langkah persiapan mencari pekerjaan baru.
Mantan tekon atau PPNPN yang merasa diabaikan atau dirugikan dalam proses penghentian kerjasama tersebut dapat juga menggunakan jalur hukum untuk menuntut hak mereka.
“Gugatan pasti bisa. Disesuaikan masuknya di mana, apakah Pengadilan Hubungan Industrial, Wanprestasi, atau Perbuatan Melawan Hukum. Tergantung dasar hukum tekon tersebut saat bekerja,” pungkas Halim.
Terpisah, seorang berinisial Cu yang menjadi tekon sejak 2008 mengaku kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga usai penonaktifan sebagai tekon.
Dia dan sejumlah rekan kerjanya kesulitan mencari pekerjaan baru karena terkendala syarat umur. Sedangkan untuk berkompetisi dalam Uji Kompetensi PPNPN juga mereka ragu lantaran harus beradu dengan pelamar PPNPN yang rata-rata baru lulus pendidikan yang secara teoritis lebih unggul.
“Berbeda dengan kami yang sudah bertahun-tahun bekerja secara praktis, yang mana kebanyakan teori akademis tidak digunakan,” keluh Cu.
Dia berharap ada solusi dari Pemda selain hanya mengarahkan para mantan tekon untuk bersabar mengikuti uji kompetensi yang tidak diketahui kapan dan di mana akan dilaksanakan. Jangan kesannya habis manis sepah dibuang. dre