HUKUM  

Evaluasi Lagi Pencabutan Izin Konsesi

Mantan Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rawing Rambang

PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM Pengamat perkebunan dan kehutanan Kalimantan Tengah (Kalteng) Rawing Rambang menyebut, sektor perkebunan merupakan kontributor besar pembangunan daerah dan nasional, Kamis (13/1).

Mantan Kepala Dinas Perkebunan Kalteng itu mengemukakan, sedikitnya ada 350.111 hektare lahan yang digunakan untuk perkebunan di Kalteng. Namun demikian, ia sebagai pengamat perkebunan sangat mendukung kebijakan Presiden RI terkait persoalan konsensi lahan yang belakangan ini menjadi polemik.

“Terutama terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan yang tidak taat aturan. Tapi kalau mereka sudah punya HGU/IUP itu sudah ada undang-undang yang mengaturnya. Apalagi sudah investasi, sudah berjalan kebun kemitraan. Kalau dari sisi EPKH mereka sudah dilepaskan, sudah jadi APL. Nah ini polemik masyarakat. Kalau mereka gak taat aturan, ya silakan aja,” ujarnya.
Rawing menuturkan, perusahaan perkebunan kalau 10 hektare itu minimal Rp1 triliun dengan investasinya, dan itu 25 tahun, tidak gampang. Karena 1 hektare Rp70 juta. Mereka yang sudah punya IUP, HGU punya pelepasan yang sudah prosedural.

Rawing menilai, kebijakan konsesi lahan perlu dievaluasi lagi. Dia berharap ada evaluasi dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait masalah pencabutan izin konsesi tersebut.

“Mungkin ini kan ada tindak lanjut, kalau mereka salah ya memang harus ditindak. Karena kalau mereka sudah punya IUP di undang- undang mereka harus 3 kali teguran. Teguran pertama, bagaimana kemajuannya. Teguran kedua, ketiga baru dicabut. Itu satu tahun. Demikian juga HGU, apabila lahan-lahan tersebut tidak dimanfaatkan. Jadi apabila sudah tanam sawit 15 tahun di situ,” terangnya.

Namun, Rawing juga menyerahkan persoalan tersebut ke pemerintah. Dari sektor usaha, akan taat selama itu prosedural. Kecuali mereka tidak ada izin bekerja. Tapi kalau mereka laporannya lengkap, rutin, CSR-nya rutin dan sebagainya, sudah tanam pajak, taat, kenapa dicabut?

“Aku lihat SK-nya belum mereka terima, kada be-kop, kada punya kop. Kada tanda tangan, saya tanya ke Dinas Perkebunan belum, Kehutanan belum,” ujarnya dengan logat daerah.

Di tempat yang sama, mendampingi Rawing, anggota Bidang Komunikasi GAPKI Kalteng, Kanna membenarkan bahwa pihaknya saat ini belum menerima draf pencabutan konsensi perkebunan tersebut.

Menurut Kanna, di Kalteng sedikitnya ada 102 anggota GAPKI. Dari sekian banyaknya perkebunan sawit di Kalteng, masih banyak yang belum menjadi anggota GAPKI. Diharapkan semua perkebunan dapat menjadi anggota GAPKI.

“Anggota-anggota GAPKI kita dorong untuk dapat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Jadi di situ ada prinsip dan kriteria, serta ada indikator-indikatornya.  Perusahaan yang sudah mendapat sertifikasi ISPO maka dari sisi transparansinya, kepatuhannya, izin-izinnya, legalitasnya, sisi sosial dan lingkungannya, sebetulnya sudah clear baru mereka mendapatkan itu,” jelas Kanna.

Kanna juga menegaskan, GAPKI selalu mengimbau agar anggota-anggotanya  patuh dan taat pada regulasi yang ada. “Banyak anggota GAPKI klasifikasi kebunnya yang sudah B dan A ini prosesnya panjang,” ujarnya.

Disebutkan, anggota GAPKI pemenuhan terhadap legalitas dan aturan mainnya pasti sudah sesuai prosedur yang berlaku. Dengan adanya draf pencabutan izin konsensi tersebut, Kanna menjelaskan bahwa pertama-tama tentunya GAPKI menyambut baik dan mendukung dari kebijakan Presiden RI untuk membenahi dan memperbaiki tata kelola dan sumber daya alam, agar adanya transparan, pemerataan dan adil. Untuk mengoreksi ketimbangan ketidakadilan dan kerusakan alam.

Kedua, GAPKI memohon agar ada penjelasan dari draf Keputusan Menteri LHK No 1 tahun 2021 tentang Pencabutan Izin Konsensi Kehutanan dan beredarnya itu dari medsos.

Pasalnya, munculnya draf tersebut menimbulkan multiinterpretasi, yang dikhawatirkan menimbulkan dampak konflik sosial, dan akan menimbulkan isu negatif serta mengganggu iklim investasi bagi perkebunan, terutama di Kalteng. dsn