Debu Diduga dari PLTU Rimau Elektric Dikeluhkan Warga

KELUHAN PARTIKEL DEBU- (Foto 1) Kantor management PT Rimau Perkasa Tangguh anak perusahaan PT Rimau Group. (Foto 1) PT Rimau Perkasa Tangguh saat melakukan pengecekan bersama pihak DLH Bartim. (Foto 3) Periani pemilik lahan ketika memperlihatkan partikel debu yang menempel di tempat penampungan getal karet, diduga akibataktivitas pembakaran batu bara di PLTU setempat.(Foto 4) Daun yang ditemukan ada partikel berwana hitam. FOTO/ISTIMEWA   

+ Banyak Ditemukan Partikel Debu Hitam menempel di Daun

+ Diduga Limbah Ditampung di Kolam Tanah Bukan Permanen

+ DLH Bartim dan PLTU Malah Saling Lempar

TAMIANG LAYANG/TABENGAN.CO.ID-Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik Rimau Elektric di Desa Jaweten, Kecamatan Dusun Timur, Kabupaten Barito Timur yang dibangun puluhan tahun silam, kini dikeluhkan masyarakat. Pasalnya, aktivitas pembakaran batu bara di PLTU tersebut diduga menimbulkan partikel-partikel debu yang sangat mengganggu.

Menurut Leriani pemilik lahan, warga setempat, abu sisa pembakaran batu bara lengket di dedaunan kebun karet miliknya dan warga lain. Akibatnya, penghasilan sadapan karet miliknya kian hari semakin menurun, dibandingkan sebelum adanya PLTU ini. Hasil dalam satu hari bisa mencapai satu gelas air mineral. Parahnya lagi, polusi udara ini juga mulai mengancam kesehatan warga.

“Ya, dua kali melakukan penyadapan karet hasilnya hanya seupil. Ini diduga dampak dari debu-debu sisa pembakaran batu bara PLTU yang terlihat lengket di tempat sadapan yang menyebabkan getah karet cepat beku, karena panasnya debu,” ucap Periani kepada wartawan, Jumat (4/8).

Menurut Periani, penghasilan karet yang terus mengalami penurunan dialami sejak tahun 2016. Selain itu, dampak dari pencemaran debu-debu pembakaran batu bara PLTU tersebut, saat ini banyak pohon karet dan tanaman lainnya mati.

Periani berharap pihak perusahaan PLTU peduli dan bertanggung jawab atas adanya persoalan tersebut. Sebab, hanya dari hasil usaha penyadapan karet inilah, warga bisa bertahan hidup, termasuk untuk membiayai pendidikan sekolah anak.

“Perusahaan PT Rimau Elektric harus tanggung jawab atas kerugian yang kami alami. 1,2 hektare lahan sudah tidak produktif lagi lantaran terkena pencemaran. Kita meminta ganti rugi Rp600 juta sebagai bentuk kompensasi,” kata Periani, sambil menangis.

Terpisah, seorang aktivis lingkungan Mardiana D Dana yang ikut mendampingi pengecekan lapangan bersama warga terdampak mengatakan, temuan itu baginya adalah temuan yang luar biasa. Karena pemilik kebun yang berbatasan dengan PLTU Rimau Elektric itu menyatakan bahwa sebelum adanya resapan sampai merembes di lokasi tersebut, belum pernah ada keluar air. Bahkan air yang bersih pun tidak pernah merembes seperti itu, apalagi yang sekarang.

“Akan tetapi beberapa tahun ini mereka baru menyadari kalau rembesan itu semakin lama semakin melebar, kemudian airnya dengan warna kemerahan itu lembek, kurang lebih satu meter kiri dan kanan rembesan itu terasa juga lembek tanahnya,” katanya.

Sebelum turun ke lokasi kebun, pihaknya sudah melihat tempat penampungan air limbah di belakang PLTU. Ditegaskan Mardiana, sebagai orang awam, itu sebenarnya tidak layak, karena kolam penampungan PLTU itu sifatnya permanen dan limbahnya dari batu bara atau limbah dari PLTU ditampung di dalam penampungannya itu tidak dibikin permanen, tanahnya hanya digali seperti di kolam-kolam.

Kemudian debu berwarna hitam yang menempel di atas daun maupun di atas jamur yang ada di sana, mereka rasakan dan hirup.

“Bulan Mei 2023 lalu, saya ada dua kali turun ke sana dan pada hari keduanya hidung saya terasa seperti ada yang mengganjal. Setelah sampai luar, saya pegang-pegang hidung, ternyata itu juga masuk ke hidung, bisa terhirup kalau sudah siang hari,” ucapnya.

Mardiana berharap, atas kejadian tersebut pihak PLTU harus menerima permintaan tuntutan masyarakat, supaya tidak ada kelanjutannya. Kemudian pihak PLTU harus membuat kolam yang permanen dengan disemen keliling di seputaran kolam. Karena kebun karet itu menjadi sumber kehidupan mereka dan penghasilannya semakin tahun semakin menurun jauh dari apa yang diharapkan.

Upaya protes atas rusaknya ekosistem akibat debu ini, selain berdampak pada menurunnya hasil sadapan karet juga berdampak bagi kesehatan manusia, warga akan melayangkan surat protes kepada managemen PT Rimau Elektric sekaligus meminta DLH Kabupaten Barito Timur untuk segera melakukan pemantauan lapangan sebelum semuanya lebih parah lagi.

Sementara itu, Site Manager PLTU Rimau Elektric Jaweten Tatang ketika dihendak ditemui selalu menghindar, dan hanya melalui pesan WhatsApp mengatakan belum bisa memberikan keterangan karena belum ada kesimpulan hasil survei lapangan dari DLH Kabupaten Bartim.

Anehnya, pihak DLH Bartim ketika dikonfirmasi juga bungkam dan menyuruh menanyakan masalah ini ke managemen PLTU.

Plt Kepala DLH Provinsi Kalimantan Tengah Joni Harta, ketika dihubungi melalui pesan singkat, mengatakan, jika memang ada indikasi pencemaran udara, khususnya debu dari hasil pembakaran batu bara PLTU, sebaiknya dilaporkan ke DLH Kabupaten Bartim untuk dilakukan uji sampel untuk menentukan bahaya atau tidaknya debu itu.

“Namun tidak menutup kemungkinan pihaknya juga akan turun ke Barito Timur mengecek langsung kondisi yang terjadi di sekitar PLTU tersebut,” katanya.

Sementara itu, saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Dwi, Perwakilan Management PT Rimau Elektric membenarkan bahwa pihaknya sudah melakukan pengeboran yang melibatkan DLH Kabupaten Bartim dan disaksikan pemilik lahan, Periani dan Marbon.

“Rimau ga mau mengeluarkan statement sebelum ada keputusan dari DLH,” singkatnya. c-yus