PALANGKA RAYA/tabengan.com – Musim kemarau pada 2018 ini dinilai lebih panjang dan lebih ekstrim jika dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk itu semua pihak yang terkait diminta selalu waspada dan dapat memaksimalkan upaya pencegahan di daerahnya masing-masing.
Asdep Koordinasi Penanggulangan Konflik dan Keamanan Transportasi Kemenko Polhukam Bambang Sugeng, saat Rakor pengendalian Karhutla 2018 di Provinsi Kalteng dan sosialisasi Bios 44, di Palangka Raya, Kamis (12/4), mengatakan, pada 2016 dan 2017 jumlah hotspot, areal terbakar, status kedaruratan, dan pelanggaran Karhutla mengalami penurunan.
Namun pada 2018 ini kemaraunya dinilai lebih ekstrem dibandingkan 2016 dan 2017 lalu, sehingga semua pihak yang terkait diminta untuk lebih siap dan waspada. Puncak musim kemarau itu biasanya terjadi pada Agustus-September, namun pada Mei-Juni sudah mulai kering.
“Sehingga, dikhawatirkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang berdampak pada bencana asap yang merugikan kehidupan sosial masyarakat,” ujarnya.
Bahkan, kata Bambang, dari 12 provinsi di Indonesia yang rawan Karhutla, saat ini sudah terdapat empat provinsi yang menyatakan siaga darurat Karhutla, yaitu Sumatera Selatan, Riau, Kalteng dan Kalbar.
Senada dengan itu, Direktur Pengendalian Karhutla Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Raffles Brotestes mengatakan, musim kemarau pada tahun ini dinilai akan lebih panjang dan saat ini bahan bakaran di lapangan sudah mulai kering.
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Provinsi Kalteng Darlianjah mengatakan, desa rawan kebakaran di wilayah Kalteng, yaitu terdapat 263 desa dengan kategori sangat tinggi, 222 desa kategori tinggi, 94 desa kategori sedang, dan 1.033 desa dengan kategori rendah.
Dari 263 desa yang sangat tinggi tingkat kerawanan kebakarannya tersebut yaitu Kapuas sebanyak 66 desa, Pulang Pisau 45, Kotim 34, Katingan dan Barsel masing-masing 23, Kobar 18, Seruyan 15, Palangka Raya 13, Sukamara 11, Bartim 9, Lamandau 5, dan Mura 1 desa. dkw