PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID-Menyikapi dijadikannya terdakwa tiga petani di Pengadilan Negeri Nanga Bulik, Kabupaten Lamandau, terkait aktivitas mereka di kasawan hutan tanaman industri, disikapi Suparman tokoh Masyarakat Kotawaringin Timur, yang selama ini berjuang melawan ketidakadilan yang mereka rasakan saat berhadapan dengan Perusahaan Besar Perkebunan kelapa sawit.
Kepada wartawan suparman menegaskan, kasus yang dialami oleh tiga warga Lamandau tersebut adalah bukti bahwa hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah , apalagi berhadapan dengan PBS korporasi besar.
“Dengan ditetapkannya tiga warga Lamandau menjadi terdakwa, wajar saja masyarakat mempertanyakan penerapan aturan hukum yang tidak sama untuk masyarakat dan Korporasi Perkebunan kelapa sawit, padahal pelanggaran yang Korporasi lakukan lebih parah,“ tegas Suparman.
Suparman menambahkan, beberapa waktu yang lalu , bersama masyarakat Desa Patai Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kotawaringin Timur, mereka melaporkan salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang diduga melakukan aktivitas di Kawasan hutan tanpa izin, namun sampai saat ini tidak ada tindakan hukum atas pelanggaran yang perusahaan itu lakukan.
“Melihat Tindakan hukum terhadap tiga warga Lamandau yang menjadi terdakwa, apakah Tindakan hukum hanya berlaku untuk masyarakat saja, dan pengecualian untuk Perusahan Besar Kelapa Sawit,“ tanya Suparman.
Diberitakan di berbagai media, puluhan warga yang tergabung dalam aliansi Masyarakat Dayak Bersatu bersama perwakilan Petani berdemo di depan Kantor Pengadilan Nanga bulik, Kabupaten Lamandau. Pedemo menuntut dibebaskannya tiga petani yang dijadikan terdakwa di pengadilan tersebut.
Wendi, koordinator aksi mempertanyakan penegakan hukum yang dilakukan Bareskrim Polri terhadap tiga petani tersebut, padahal mereka hanya sebagai peladang atau petani di areal lahan yang tergolong masuk kawasan hutan tanaman industri.
“Saya menduga, kasus ini cacat hukum dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang digaungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tentang penyelesaian konflik penggunaan kawasan hutan melalui Undang-Undang Cipta Kerja “ tegas Wendi
Pedemo berharap, kasusnya diselesaikan secara keadilan restorative, dengan pendekatan konflik hukum melalui mediasi antara korban dan terdakwa maupun pihak terkait lainnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Nanga Bulik, Evan Setiawan Dese mengatakan, pihaknya membuka diri untuk diawasi dalam menangani perkara ini sehingga keadilan bisa tercapai.ist