*Rugikan Pekerja Daerah, Ganggu Perekonomian Lokal
PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID-Rencana pemerintah untuk mendatangkan pekerja Cina untuk membantu pengembangan food estate ke Kalimantan Tengah (Kalteng) dinilai perlu dipertimbangkan. Pasalnya bisa berdampak buruk terhadap pekerja lokal serta menganggu aktivitas perekonomian lokal.
Sebelumnya, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, Cina bakal masuk ke dalam proyek ketahanan pangan di Indonesia. Cina, kata Luhut, berencana menerapkan teknologi penanaman padi canggih di Pulang Pisau (Pulpis), Kalteng, kawasan tersebut diketahui merupakan salah satu bagian food estate yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Luhut mengatakan, Cina punya teknologi canggih untuk memaksimalkan penanaman padi sehingga negara tersebut bisa melakukan swasembada beras. Rencana Cina ini pun sudah dilaporkan Luhut ke Presiden Jokowi.
Hal ini merupakan salah satu isi pembicaraan Luhut dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam Dialog Tingkat Tinggi dan Mekanisme Kerja Sama keempat Indonesia-China (HDCM) di Labuan Bajo, Jumat (19/4).
Pengamat Ekonomi Kalteng Dr Fitria Husnatarina, S.E., M.Si., Ak., CA mengatakan, kebijakan yang dibuat pemerintah mengenai rencana mendatangkan pekerja/buruh Cina ke Indonesia, dalam hal ini Kalteng dalam pengembangan food estate dari sisi ekonomi ini kurang tepat, karena merugikan banyak pihak khususnya pekerja lokal.
“Selain pekerja lokal, merugikan aktivitas ekonomi baik langsung maupun tidak langsung akan terasa dan juga akan ada pergeseran-pergeseran tertentu. Misalnya dengan mendatangkan pekerja asing nantinya akan berdampak pada pergeseran budaya dan pergeseran lainnya,” kata Fitria kepada Tabengan saat dihubungi, Selasa (23/4).
Dijelaskan, pekerja asing yang dianggap memiliki etos kerja lebih dari pekerja lokal, tentu nantinya terjadi persaingan dan mengenai hal ini apakah pemerintah juga mampu memanagenya.
“Karena nantinya secara sistematis para pekerja lokal perlahan-lahan akan tersingkirkan dan tentu ini akan tidak baik dan berdampak buruk,” tuturnya.
Akademisi dari Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya (UPR) ini mengakui, memang secara etos kerja pekerja asing lebih tinggi dari pekerja lokal dan sistem pekerja asing memang lebih cepat dan efisien.
“Ini menjadi salah satu barometer sehingga pekerja asing tersebut didatangkan. Namun dalam konteks ekonomi, kita menyayangkan nantinya akan ada pergesekan-pergesekan yang akan terjadi dan nantinya kita menyayangkan apakah pemerintah mampu menangani atau mengatasi hal tersebut,” jelasnya.
Karena kata Fitria sudah dilihat bahwa datangnya para pekerja Cina untuk pembangunan jembatan, pembangunan infrastruktur lainnya itu akan berdampak pada peningkatan kapasitas pekerja atau buruh Indonesia. “Kalau mau berbicara fair memang kita butuh untuk cepat dan efisien dan itu memang ada pada pekerja asing. Tetapi kalau kita mau berbicara bagaimana kita mengoptimalkan para pekerja lokal kita dengan etos kerja yang sedemikian adanya seperti mereka (pekerja asing) mesti mulus,” bebernya.
Kita tidak berangkat dulu dari sistem kepekerjan kita yang sedemikian adanya dari hulunya dan kemudian ketika dari hilirnya kita ingin membangun infrastruktur kita tidak menemukan itu di pekerja Indonesia. “Karena memang kita tidak pernah ingin membangun dan mengoptimalkan para pekerja lokal, sehingga penting kita untuk mengoptimalkan dulu para pekerja lokal agar etos kerja mereka seperti para pekerja asing nantinya yang cepat dan efisien,” tuturnya.
Dikatakan, kalau terus mengandalkan para pekerja asing, pekerja lokal kita tidak akan maju karena itu dianggap sebagai kultur (budaya) bahwa pekerja bekerja lokal dengan etos kerja yang sedemikian adanya.
“Jadi ini adalah pekerjaan rumah (PR) kita bersama untuk bagaimana membantu para pekerja kita untuk meningkatkan etos kerja. Itulah yang harusnya dilakukan pemerintah,” tegasnya.
Fitria berpandangan, mendatangkan pekerja Cina ke Kalteng itu kurang tepat dan menyayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. “Karena kesejahteraan lokal untuk pembangunan, kapasitas pekerja Indonesia kita harus memang ditingkatkan untuk menjamin pekerjaan yang baik,” ujarnya.
Memang kata dia kalau berbicara mengenai ekonom Kapital Flip, kita terjadi dengan kita membayar buruh asing, kemudian pola-pola konsumsi dan sosialisasi terjadi dan mungkin berangsur ada terjadi percampuran budaya karena menikah dan lainnya.
“Sehingga nantinya pasti akan ada pergesekan sosial yang terjadi dan kalau itu sudah terjadi kita bisa mengatakan apa? itu juga kebijakan dan program yng dibuat haru benar-benar de design bagaimana nanti ketika para pekerja dapat berinteraksi dengan masyarakat dan lain sebagainnya itu harus dipikirkan,” bebernyanya.
Sementara dampak baik mungkin secara faktual melihat pekerja asing akan lebih efektif karena memiliki kualifikasi tinggi dalam seting kerja selaku buruh dibanding orang-orang Indonesia pekerja lokal. “Tetapi ada hal juga yang perlu kita pikirkan karena kapan lagi kita akan memasyarakatkan masyarkat lokal dalam konteks ini, karena ketika dianggap pekerja lokal belum memiliki kerja yang baik. Kita harus bertanya apakah kita sudah membangun infrastruktur mengenai membangun pekerja lokal dengan etos kerja yang tinggi dengan berbagai tretment yang dilakukan,” terangnya.
Sekarang ini masih ada pemikiran yang menganggap buruh lokal tifak qualified, sehingga mau jalan pintas atau shortcut lalu mendatangkan para pekerja asing untuk menyelesaikan berbagai pembangunan. “Kalau kita begini terus, tidak serius dengan membangun etos kerja buruh lokal kita akan terus-terusan akan mendatangkan para pekerja asing dan itu tentu saja akan berdampak pada berbagai sisi dan itu harus dipikirkan baik dan matang-matang oleh pemerintah,” pungkasnya. rmp