Tambah Beban Pekerja, Kalteng Tolak Tapera

Ketua Apindo Kalteng Frans Martinus dan Ketua Federasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (FSPTI) Kalteng Cornelis

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), pada 20 Mei 2024 lalu. Dalam peraturan ini mewajibkan potongan gaji bagi para pekerja sebesar 3 persen.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Pusat melalui Ketua Apindo Kalteng Frans Martinus mengungkapkan, sejak munculnya UU No 4 Tahun 2016, Apindo dengan tegas telah menolak diberlakukannya UU tersebut. Bahkan Apindo telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi dan mengirimkan surat kepada Presiden.

“Sejalan dengan Apindo, serikat buruh/pekerja juga menolak pemberlakukan program Tapera. Program ini dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/buruh,” kata Frans.

Dikatakan, Apindo pada dasarnya mendukung kesejahteraan pekerja, dengan adanya ketersediaan perumahan bagi pekerja. Namun, PP No 21/2024 dinilai duplikasi dengan program sebelumnya, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta  program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek. Tambahan beban bagi pekerja (2,5 persen)  dan pemberi kerja (0,5 persen) dari gaji yang tidak diperlukan, karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS ketenagakerjaan.

“Pemerintah diharapkan dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan, dimana sesuai PP maksimal 30 persen (Rp138 triliun),  maka aset JHT sebesar Rp460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan pekerja,” tuturnya.

Dana MLT yang tersedia sangat besar dan sangat sedikit pemanfaatannya.
Apindo menilai aturan Tapera terbaru dinilai semakin menambah beban baru, baik baik  pemberi kerja maupun pekerja. Saat ini, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja dengan rincian, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU No 3/1999 ‘Jamsostek’), dimana Jaminan Hari Tua 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen dan Jaminan Pensiun 2 persen.

Kemudian, Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU No 40/2004 ‘SJSN’), dimana Jaminan Kesehatan 4 persen, Cadangan Pesangon (berdasarkan UU No 13/2003 ‘Ketenagakerjaan’) sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No  24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen.

“Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar. Apindo terus mendorong penambahan manfaat program MLT BPJS Ketenagakerjaan, sehingga pekerja swasta tidak perlu mengikuti program Tapera dan Tapera sebaiknya diperuntukkan bagi ASN, TNI dan Polri,” tuturnya.

Ia mengungkapkan, Apindo telah melakukan diskusi dan koordinasi dengan sejumlah pihak terkait, di antaranya BPJS Ketenagakerjaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk  mempercepat perluasan program MLT bagi kebutuhan perumahan pekerja. Dalam diskusi tersebut, khusus pekerja swasta dapat dikecualikan dari Tapera dan mendapatkan fasilitas  perumahan dari BP Jamsostek.

Pihaknya juga telah melakukan sosialisasi ke para Developer melalui DPP Real Estate Indonesia (REI) dan juga menginisiasi Kick Off penandatangan kerja sama antara BPJS  Ketenagakerjaan dan 2 Bank Himbara (BTN dan BNI) serta 4 Bank (Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), diantaranya Bank Jabar, Jateng, Bali, dan Aceh dalam rangka perluasan manfaat program MLT perumahan pekerja.

Untuk mendapatkan fasilitas perumahan bisa memanfaatkan MLT dari sumber dana program JHT (Jaminan Hari Tua) untuk 4 manfaat, seperti, pinjaman KPR sampai maksimal Rp500 juta, Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) sampai dengan Rp150 juta dan, Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) sampai dengan Rp200 juta serta Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK).

“Jika pemerintah tetap akan menerapkannya diharapkan dimulai dulu dengan dana yang terkumpul dari ASN, TNI/Polri untuk manfaat mereka yang sepenuhnya ada dalam kontrol pemerintah. Jika hasil evaluasi sudah bagus pengelolaannya, baru dikaji untuk memperluas cakupannya ke sektor swasta,” tutupnya.

FSPTI Kalteng Menolak Keras

Senada, Ketua Federasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (FSPTI) Kalteng Cornelis juga menolak kebijakan tersebut.

“Terkait dengan kebijakan pemerintah itu untuk pekerja swasta, tentu saja saya sebagai Ketua FSPTI Kalteng menolak keras kebijakan ini,” ujarnya, kepada Tabengan, Kamis (30/5).

Ia menilai, jika kebijakan itu diterapkan kepada pekerja swasta tentunya akan semakin memberikan beban pembayaran kepada pekerja swasta.  Hal tersebut merupakan permasalahan yang serius.

“Kami lakukan penolakan, untuk BPJS saja sampai saat ini masih lebih dari 1.500 pekerja yang belum dimasukkan ataupun dibayarkan oleh pihak perusahaan terhadap pekerja-pekerja yang ada di Kalteng, jadi ditambah dengan beban Tapera yang akan diterapkan di tahun 2027, tentu ini akan semakin runyam  dan beban bagi pekerja tentunya seperti yang saya katakan di awal akan bertambah karena potongan dari upah mereka semakin banyak sementara upah yang mereka terima tidak sesuai,” ucapnya.

Apalagi dengan sekarang harga kebutuhan bahan pokok semakin melonjak ini dan upah minimum hanya bergerak kurang lebih Rp3 juta, itu tidak sesuai  dengan kebutuhan hidup, karena berlaku di Kalteng.

“Di samping itu, kalau ini ditetapkan tentu pedagang-pedagang tidak mau tahu  karena mereka menganggap kalau ini diterapkan, maka mereka mengganggap  ada peningkatan kesejahteraan dari pekerja, otomatis ketika ada kenaikan kenaikan upah ataupun gaji tentunya pedagang sudah lebih dulu sebelum ada kenaikan upah ataupun gaji pedagang-pedagang sudah menaikkan harga jual,” jelasnya.

Cornelis mengungkapkan, pihaknya  sebagai organisasi pelindung dari pada pekerja yang ada  di Bumi Tambun Bungai menolak keras.

“Mungkin dalam waktu dekat saya akan melakukan audiensi dengan Kepala Dinas dan beberapa ha terkait masalah ini. Kami berharap nanti pergerakan penolakan UU Tapera ini akan  serentak di Indonesia sehingga UU ini dibatalkan. Jadi bukan ditunda karena saya selaku Ketua FSPTI menyatakan menolak jadi bukan menunda ataupun mempelajari tapi kami tetap menolak,” tegasnya.

Ia menuturkan, masih banyak  permasalahan yang harus diselesaikan terutama dengan peningkatan upah menuju tingkat sejahtera, kemudian juga masalah BPJS baik BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan juga masih bermasalah. ldw