PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir dengan penuh tantangan yang sangat besar. Peralihan dari masa orde baru ke era reformasi, membuat pembahasan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berjalan tepat waktu.
Senator Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang (Terang) menceritakan, pembahasan UU KPK pada saat itu, tidak lain bertujuan untuk memberantas praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
“Saya pada saat pembahasan UU KPK menjabat sebagai Ketua Komisi II DPR RI Masa Jabatan 1999-2004. Komisi yang memiliki tanggung jawab untuk membahas, dan memutuskan pada tingkat pertama. Perlu diketahui juga, pada saat itu nama lengkap komisi ini bernama KPTPK atau Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sesuai namanya dalam UU. Lalu kemudian belakangan disingkat menjadi KPK ,” jelas Gubernur Kalteng 2 periode ini, Rabu (3/7), di Palangka Raya.
Bapak Pembangunan Kalteng ini menyampaikan, pembentukan KPK tiada lain adalah memenuhi tuntutan reformasi, di mana salah satu tuntutannya adalah memberantas praktik KKN. Pada awal konsepnya, korupsi masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Oleh karenanya, harus ditangani dan diselesaikan juga dengan tata cara dan lembaga yang luar biasa pula.
“Saya mengingat betul, pembahasan UU KPK tidak berjalan tepat waktu. Pasalnya, pemerintahan saat itu dalam kondisi yang masih belum stabil, akibat perpindahan era pemerintahan. Era Presiden Gus Dur, RUU KPK tidak sempat dibahas. Baru pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, pembahasan RUU KPK dapat dilakukan dan dituntaskan,” Teras Narang menceritakan.
Konsep awal KPK dilahirkan, menurut Ketua Pertama MADN ini, diharapkan menjadi lembaga luar biasa dalam pencegahan, pemberantasan, dan penindakan, serta penghukuman tindak pidana korupsi. Proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, semuanya berada di bawah koordinasi dan kewenangan KPK.
Oleh karena itu, lanjut Teras Narang, negara kita memerlukan lembaga penegak, dan pemberantas tindak pidana korupsi yang mempunyai kewenangan luar biasa, dan tanpa campur tangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun oleh lembaga-lembaga lainnya dan pihak mana pun juga. Desain ini, diharapkan membuat proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, sama sekali tidak bisa dan tidak boleh dicampuri oleh siapapun, dan lembaga apa pun juga.
“Banyak kendala dan pertentangan yang dihadapi pada saat itu. Membuat Komisi II DPR RI Periode 1999-2004, akhirnya hanya bisa menghasilkan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002. Itulah hasil sebuah UU dengan dinamika politik tinggi yang dapat kami sumbangkan kepada masyarakat, bangsa, dan negara, khususnya terkait dengan upaya pemberantasan dan penindakan tindak pidana korupsi di tanah air yang kita cintai bersama ini,” tambah Teras Narang.
“Itulah salah satu sumbangan dari seorang anak Suku Dayak, yang dipercayakan rakyat Kalteng untuk mewakilinya di lembaga dan forum nasional. Saya menyampaikan catatan ini untuk kita, khususnya generasi muda, untuk mengingatkan pentingnya bangsa ini mengatasi masalah korupsi. Putera daerah dari mana pun asalnya, bisa berperan penting bagi kemajuan bangsa dan negara,” pesan Teras Narang.
Teras Narang berharap, apa yang disampaikan, dapat menjadi kenangan dan bermanfaat bagi kita semuanya. Prinsipnya, kita bisa, kita mampu, dan kita layak. Salam sehat dan sukses, serta terus semangat. Kalau Tidak Kita, Siapa Lagi? Kalau Tidak Sekarang, Kapan Lagi? ded