Waspada, Imbas Kasus OTT Gubernur Kalsel

Ade Putrawibawa Praktisi Hukum/Sekretaris Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) DPC Palangka Raya, sekaligus Sekretaris Young Lawyer Committe (YLC) Peradi Palangka Raya dan Merissa Lie, Paralegal dari Bonafide Borneo Law Office.

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Masyarakat sempat dihebohkan dengan penangkapan Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) H Sahbirin Noor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia. Praktisi Hukum Ade Putrawibawa menyebut, penangkapan pejabat publik itu juga dapat berimplikasi ke wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng).

“Secara tidak langsung, hal ini juga berpengaruh bagi persepsi publik dan kepercayaan terhadap pemerintahan daerah di wilayah sekitar Kalsel, termasuk Kalteng,” kata Sekretaris Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) DPC Palangka Raya, sekaligus Sekretaris Young Lawyer Committe (YLC) Peradi Palangka Raya tersebut, Kamis (10/10).

Lanjut Ade, penangkapan pejabat setingkat gubernur juga dapat menimbulkan ketidakstabilan politik dan administratif di wilayahnya. Tidak hanya itu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah yang merupakan sektor pelayan publik juga dapat menurun.

Ia berpendapat, pengaruh tersebut bagi Kalteng tidak hanya terhadap pemangku jabatan eksekutif seperti gubernur dan wakil gubernur, tetapi juga terhadap instansi lain yang menjalani sektor pelayanan publik dan terhadap masyarakat.

Citra instansi lain yang bergerak di sektor pelayanan publik seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dapat menurun dan dianggap tidak memiliki professionalisme serta integritas dalam melayani masyarakat.

“Hal ini membuat masyarakat di Kalteng mungkin menjadi lebih kritis dan waspada terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh instansi-instansi serta pejabat daerah,” yakin Ade.

Secara umum, penangkapan Gubernur Kalsel ini merupakan salah satu bukti, tidak ada pejabat yang kebal hukum. Penangkapan ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat integritas dan transparansi dalam pemerintahan daerah terutama mengingat saat ini sedang dalam masa politik dimana gratifikasi dan korupsi merupakan dua hal yang memiliki kemungkinan besar untuk terjadi.

Merissa Lie, Paralegal dari Bonafide Borneo Law Office

Terpisah, Merissa Lie, Paralegal dari Bonafide Borneo Law Office juga ikut berpendapat terkait adanya kasus tersebut. Ia menyebut hal tersebut menjadi peringatan juga bagi para pejabat kepala daerah di Kalteng dalam bersikap atau memberi dukungan dalam pilkada 2024.

“Periode politik ini merupakan periode krusial karena dalam periode ini tidak jarang terdapat oknum-oknum yang melakukan praktik politik uang yang tidak menutup kemungkinan menjelma menjadi gratifikasi dan korupsi. Serta tidak dapat dipungkiri bahwa pesta demokrasi di Indonesia selalu diwarnai dengan berita terkait politik uang,” ujar Merissa.

Ia menyebut hal ini malah bukan rahasia bagi masyarakat di Indonesia jika setiap penyelenggaraan pemilu baik tangkat nasional maupun daerah masih dikotori dengan politik uang. Padahal dalam pasal 280 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, telah disebutkan dengan sangat jelas, penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang untuk menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye Pemilu.

Penangkapan Gubernur Kalsel ini adalah momentum yang tepat untuk mengingatkan kembali para pejabat, para pegawai aparatur sipil negara dan perangkat pemerintah lainnya terhadap kewajiban mereka yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang.

Dapat mengambil contoh, para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang fungsi dan perannya adalah sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat dan pemersatu bangsa, ASN sebagaimana yang termuat dalam pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.

Pengawasan dari aparatur lain seperti kejaksaan dan kepolisian harus ditingkatkan selama Pilkada serta KPK sangat berperan dalam pengawasan selama Pilkada. Tentu saja pengawasan harus ditingkatkan mengingat politik uang yang dapat menjelma menjadi gratifikasi dan korupsi tersebut merupakan ancaman serius yang berulang kali terjadi di Indonesia.

Perlu ditekankan, pengawasan dalam mencegah dan memberantas praktik korupsi bukan hanya tugas dari KPK tetapi seluruh penegak hukum di Indonesia termasuk masyarakat.

Yang harus diingat dan diperhatikan adalah penegak hukum di Indonesia dalam hal pemberantasan, pencegahan dan pengawasan korupsi bukan hanya KPK tetapi juga Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia sesuai Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018  Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam peraturan yang sama, disebutkan pula bahwa masyarakat juga berperan dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Hal ini sudah tentu berarti pengawasan selama pilkada terhadap praktik-praktik yang dapat menimbulkan korupsi dan gratifikasi bukan hanya tanggung jawab dari KPK tetapi juga seluruh penegak hukum, masyarakat serta aparatur negara lainnya,” pungkasnya. dre