Hukrim  

Marak Penjualan Tenaga Kerja Ilegal di Kalteng

Andreas M Boy dan Joni Ariyono  

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Ketua Dewan Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan (FSP PP) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Katingan Andreas M Boy menyuarakan keprihatinannya terkait dugaan praktik penjualan tenaga kerja ilegal di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Kasus terbaru menimpa seorang pekerja bernama Joni Ariyono, yang lahir di Kota Baru pada 20 April 1991 asal Jambi.  Joni mengalami penganiayaan yang diduga dilakukan sejumlah agen perekrut tenaga kerja ilegal dari CV BAJ.

Andreas menjelaskan, insiden ini bermula saat Joni berangkat dari Tumbang Samba menuju Palangka Raya dengan menggunakan travel.

“Setibanya di Palangka Raya, korban meminta diturunkan di masjid karena ingin melaksanakan ibadah. Namun, sopir travel justru mengantarkannya ke tempat agen perekrut di Jalan Sri Rezeki dan memperkenalkan korban kepada agen tersebut menggunakan bahasa Dayak yang tidak dipahami oleh korban,” ujarnya, kepada Tabengan, Jumat (8/11).

Tanpa sepengetahuan Joni, agen tersebut kemudian menawarkannya sebagai tenaga kerja untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit. Joni sempat tinggal di penampungan agen yang menampung calon pekerja yang akan dijual ke perkebunan sawit itu. Joni mulai curiga ketika beberapa pekerja lain menceritakan bahwa mereka berada di sana karena hendak “dijual” para agen perekrut ilegal.

“Saat Joni mencoba meminta kembali KTP dan ponselnya yang ditahan oleh pihak penampungan, pemilik penampungan bernama AS malah meminta uang tebusan sebesar Rp500 ribu. Bahkan, ponselnya disita,” ujar Andreas.

Konflik pun terjadi ketika Joni terus berusaha mendapatkan kembali barang-barangnya.

“Ketika korban meminta KTP dan ponselnya, para anggota dari pihak AS tersulut emosi dan melakukan penganiayaan terhadap korban,” jelas Andreas.

Kemudian Joni berteriak meminta pertolongan warga sekitar, sehingga ia berhasil menyelamatkan diri. Hingga saat ini, Joni masih trauma atas kejadian tersebut.

Andreas mengungkapkan, praktik seperti ini bukan kali pertama terjadi di Kalteng. Menurutnya, FSP PP KSPSI telah beberapa kali melaporkan hal ini ke Dinas Tenaga Kerja dan pihak kepolisian, namun hingga kini belum ada tindakan tegas dari pihak berwenang.

“Kami berharap kepada seluruh pihak yang berwenang, baik itu bupati, wali kota, gubernur, dan jajaran TNI-Polri, agar dapat segera mengambil tindakan untuk menertibkan praktik perdagangan tenaga kerja ini yang kian marak terjadi,” ujarnya.

Ia juga menyebutkan, modus perekrutan ini sering kali dilakukan dengan menawarkan peluang kerja baik melalui media sosial maupun secara lisan. Para korban kemudian dijual ke perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan bayaran per kepala antara satu juta hingga satu setengah juta rupiah.

“Kami mendesak pemerintah, khususnya Pemerintah Kalteng untuk mengambil tindakan segera sebelum korban terus bertambah,” tutup Andreas.

Ia mengungkapkan, dari kasus ini semakin memperlihatkan perlunya perhatian serius dari pemerintah dan penegak hukum dalam menanggulangi praktik ilegal yang merugikan pekerja di wilayah Kalteng. ldw