Menimbang Ulang Pilkada

Agustin Teras Narang

PALANGKA RAYA/ATBENGAN.CO.ID-Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang mengatakan, Presiden Prabowo Subianto dalam sebuah acara partai (Kompas.com, 12 Desember 2024) mengakui pemilihan kepala daerah (Pilkada) terlalu mahal. Menghabiskan puluhan triliun dalam acara satu dua hari yang tentu tidak efektif dan efisien.

“Secara pribadi, sebagai pihak yang turut memperjuangkan lahirnya Undang-Undang yang melahirkan pilkada secara langsung. Sebagai Gubernur yang juga lahir dari hasil pilkada langsung, saya sempat meminta pilkada langsung dipertimbangkan ulang,” kata Teras dalam rilisnya kepada Tabengan, Jumat (13/12).

Ia mengapresiasi masyarakat yang pro maupun yang kontra. Dalam ajakan menimbang, itu bukan soal pilihan Yes or No, Ya atau Tidak semata. Ajakan menimbang ulang, artinya berpikir dengan jernih dan melihat dengan jeli manfaat dan ancamannya.

“Pada saat saya maju mencalonkan diri di pilkada 2005 lalu, praktik politik uang tidak semarak hari ini. Saya bahkan merasa gembira karena rakyat sangat kritis dan justru menyambut dengan baik tanpa perlu money politics. Periode kedua, meski saya menjadi petahana, namun saya putuskan tak membagikan bantuan sosial dengan alasan membantu rakyat. Semua demi pendidikan politik. Semua demi kita belajar berpolitik tanpa kehilangan martabat dan sikap etik,” tegasnya.

Dikatakan, hari-hari ini, pilkada selain dari sisi keuangan negara dan daerah menghabiskan banyak anggaran, begitu pula calon pun mesti menghabiskan banyak sekali biaya politik. Rakyat sendiri bahkan ada yang merasa harus mendapatkan uang saat pemilihan terjadi.

Lebih lanjut dikatakan, puluhan triliun uang negara atau puluhan miliar uang daerah, sejatinya kalau dibangun ratusan sekolah hingga sarana kesehatan, akan sangat membantu warga bertahun-tahun. Lebih dari lembaran ratusan ribu yang akan hilang manfaatnya dalam sehari, sepekan atau sebulan.

“Sebaliknya uang dari pasangan calon yang dibagikan pada pemilih, yakinlah akan mereka tagih. Ditagih dari berbagai cara yang mengurangi potensi penerimaan daerah, yang artinya mengambil porsi pembangunan daerah dan hak rakyat sendiri. Jangan berharap banyak adanya kemajuan dari pemimpin yang memaklumkan politik uang dengan rakyat,” tutur Gubernur Kalteng dua periode itu.

Lebih lanjut Bapak Pembangunan Kalteng itu mengatakan, selain dari sisi finansial, bahaya lebih besar sebenarnya datang dari sisi sosial. Pembiasaan warga berpolitik liberal dari tingkat desa hingga Presiden, menggerus demokrasi khas Indonesia yang mengedepankan musyawarah mufakat. Tradisi dan budaya musyawarah jadi hilang dengan praktik transaksional. Bukan hanya di elit, tapi juga sampai ke rakyat dan ini berbahaya.

Secara sosial dan mental, kata Teras, akan membentuk paradigma buat rakyat, bahwa segala sesuatu mesti transaksional. Harus ada uangnya. Maka semangat gotong royong, kebudayaan, dan semua semangat persaudaraan yang terbangun akan berubah menjadi individualisme. Lalu kalau ini terjadi, bisa dibayangkan layanan publik pun akan tetap rumit dan sulit terwujud, lalu yang rugi kembali adalah rakyat. Ada harga terlalu mahal yang harus dibayar.

“Semangat reformasi memang mendorong pilkada langsung karena pengalaman lalu di mana elit banyak tak mendengar rakyat. Hingga hari ini pun ketika usulan dipertimbangkan saya sampaikan, banyak tudingan yang sama dan tentu harus kita hargai, karena masih banyak terjadi demikian,” urainya.

Tapi yang penting diketahui, kata Teras, tidak ada yang tanpa risiko dalam politik. Tinggal memilah dan memilih risiko paling kecil yang bisa kita tanggung. Idealnya, pilkada langsung oleh rakyat, dengan kesadaran politik tinggi bahwa kita semua menolak politik uang dan kritis dalam memilih. Namun faktanya seringkali justru setelah memilih dan mendapatkan uang, kehidupan rakyat banyak yang krisis. Jadi ini dilema. Belum lagi bila terjadi konflik sosial, maka kerugian rakyat pun ditambah sial.

“Bahwa kembali ke pemilihan DPRD menimbulkan keraguan bagi rakyat, setidaknya rakyat tidak terpecah dan bisa ‘menghukum’ wakilnya secara langsung dengan tidak memilih pada pemilihan berikutnya bila tidak amanah. Kekuasaan tetap pada rakyat, meski secara nilai uang barangkali tidak ada lagi yang bisa diambil saat pilkada berlangsung,” tukasnya.

Lebih lanjut Presiden MADA Pertama itu juga mengatakan, pilkada langsung maupun pemilihan lewat DPRD di daerah adalah sama-sama demokratis, konstitusi kita membuka kemungkinan itu. Di negara yang paling banyak mengkampanyekan demokrasi, Amerika Serikat, pun pemilihan Presiden tidak sepenuhnya langsung oleh rakyat melainkan sekelompok warga yang disebut Electoral College. Sementara di negara bagian, untuk Gubernur maupun di wilayah county atau sekelas kabupaten/kota, punya aturan yang berbeda karena bentuk federasi yang mereka usung dalam urusan negara dan demokrasinya.

“Jadi ini adalah itikad kita bersama untuk memperbaiki kualitas demokrasi yang akhirnya berdampak pada kebaikan rakyat. Kita sepakat mengawal Pemilihan Presiden agar tetap digelar secara langsung, namun untuk Pilkada kita bisa menimbang ulang. Ada banyak pikiran-pikiran kritis yang mesti kita kembangkan. Tidak sekadar Yes or No,” jelasnya.

Sekali lagi, kata Teras, pertimbangan yang perlu kajian mendalam. Sebuah negeri menurut Hatta dalam buku Demokrasi Kita (2014), hanya akan dapat maju bila rakyatnya turut menimbang mana yang baik dan buruk bagi dia. Artinya, dalam soal demokrasi, rakyatlah kuncinya.

Demokrasi hanya sarana. Tujuannya adalah kesejahteraan rakyat. Bila demokrasi malah hanya memperkaya elit dan rakyat tetap tak sejahtera, maka demokrasi menjadi sia-sia. Maka mari terus tingkatkan pendidikan dan kesadaran politik kita, karena tingkat kecerdasan pemilih sejatinya yang menentukan kualitas dari kepemimpinan yang kita lahirkan dari proses demokrasi. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? ist