PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Dalam rangka Hari Perempuan Internasional (HPI) 2025, Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) menggelar aksi damai di Taman Yos Sudarso atas perlawanan pada kekerasan terhadap perempuan dengan tema Wujudkan Kedaulatan Perempuan, Sabtu (8/3).
Sekjen Komite Eksekutif Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) Triana, menjelaskan dengan momentum HPI kali ini Seruni berharap bisa menjadi simbol perlawanan perempuan, utamanya di Kalimantan Tengah (Kalteng). Mayoritas populasi di Indonesia itu, hampir 70 persennya hidup di pedesaan sebagai kaum petani.
“Dengan kondisi tidak ada pengetahuan, tidak ada teknologi, dan tidak ada kapital untuk berproduksi, jadi kalau pemerintah mau serius, negeri kita ini adalah negeri yang kaya, seharusnya tahu bahwa pemerintah harus melayani rakyat,” katanya.
Menurutnya, sumber daya alam yang ada di Indonesia sepatutnya digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan perusahaan bangsa asing. Ia mengatakan, bahwa pemerintah saat ini adalah pemerintahan boneka akan tetapi bukan pemerintah yang berdaulat yang bisa mengatur sendiri negerinya.
“Pemerintah negeri ini adalah pemerintahan boneka imperialis pimpinan Amerika Serikat, melayani dengan penuh hati kepentingan imperialis, tapi tidak mementingkan kepentingan rakyat sama sekali,” lanjutnya.
Selain itu, negeri ini kaya dan juga besar dengan memiliki tenaga produktif yang banyak terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika. Namun juga Indonesia memiliki syarat yang sangat cukup untuk menjadi bangsa yang maju serta bangsa yang mandiri.
“Tapi karena pemerintahnya adalah pemerintahan boneka, rakyat tetap miskin, jadi sekaya apapun negeri ini, rakyat tetap miskin, Karena kekayaan sumber daya alam yang kita punya tidak bisa kita manfaatkan untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut Triana juga menyampaikan, pemerintah saat ini tidak serius dalam memberdayakan perempuan. padahal jumlah populasi perempuan di Indonesia hampir sama dengan laki-laki yaitu 285 juta jiwa di Indonesia, hampir setengahnya, yakni 48,9 persen.
“Artinya sebagai tenaga produktif perempuan itu sangat mumpuni untuk berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan kebudayaan. Akan tetapi karena tidak serius dalam menangani, mau dimanapun tempatnya secara umum kondisi perempuan masih sama terbelakang secara pengetahuan, jadi pendidikan dan kesehatannya tidak diberikan hak demokratisnya,” pungkasnya. mak