PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Penipuan dan kejahatan melalui daring masih marak terjadi di kalangan masyarakat. Fenomena ini menjadi perhatian Dosen Bimbingan Konseling Islam (BKI) IAIN Palangka Raya sekaligus psikolog Ari Pamungkas.
Ia menjelaskan, penipuan biasa maupun digital tidak hanya terjadi karena kurangnya pengetahuan, tetapi juga berkaitan erat dengan cara kerja pikiran dan emosi manusia. Dari sudut pandang psikologi, terdapat faktor yang mempengaruhi seseorang untuk lebih rentan terhadap tipu daya baik disadari maupun tidak.
“Aspek kognitif, otak manusia sering mengambil jalan pintas dalam berpikir untuk menghemat waktu dan energi. Namun, cara berpikir cepat ini bisa menyebabkan kesalahan, cenderung percaya pada orang yang terlihat berkuasa atau menggunakan atribut resmi, tertarik untuk segera bertindak saat dihadapkan pada tawaran terbatas waktu atau jumlah, mempercayai informasi yang sesuai dengan harapan pribadi, seperti janji hadiah ketika sedang membutuhkan uang,” katanya, Minggu (13/4).
Seseorang yang sedang dalam kondisi lelah, stres, tergesa-gesa, atau tidak fokus, akan memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih lemah. Penipu digital memanfaatkan momen ini untuk menyerang secara psikologis, terutama dengan tekanan waktu atau ancaman yang terkesan mendesak.
“Melalui aspek emosi, penipuan digital seringkali mengguncang emosi korban. Perasaan takut, panik, atau senang berlebihan membuat korban bereaksi secara impulsif dan tidak rasional, dalam kondisi ini, daya nalar menurun, dan keputusan yang diambil cenderung tidak melalui pertimbangan yang matang,” ungkapnya.
Selain itu, aspek kepribadian juga menjadi beberapa ciri membuat seseorang lebih rentan menjadi korban penipuan digital, seperti mudah percaya, cemas yang cenderung tinggi, kebutuhan untuk menyenangkan orang lain atau menghindari konflik. Orang-orang ini lebih mudah diyakinkan oleh pelaku penipuan, apalagi jika pelaku menggunakan pendekatan manipulatif.
“Aspek sosial dan lingkungan, alam dunia digital, simbol-simbol sosial seperti testimoni palsu, logo resmi, atau banyaknya korban sebelumnya digunakan untuk menciptakan kesan terpercaya, kurangnya budaya berbagi pengalaman tentang penipuan juga membuat masyarakat tidak belajar dari kasus-kasus yang terjadi sebelumnya,” pungkasnya. mak