Tabengan.com – Terminal baru Bandara Tjilik Riwut di Jalan Adonis Samad Palangka Raya memang belum diresmikan, namun jalan baru sudah ramai dilalui warga. Tak sedikit yang menghabiskan waktu sore hari berjalan-jalan santai di sana bersama kawan ataupun keluarga.
Menariknya lagi, parit yang baru dikeruk di pinggir jalan baru sekitar Bandara tersebut, belakangan ini menjadi tempat mencari nafkah bagi sejumlah pemburu ikan. Belasan hancau (jala segi empat yang dipasangi bambu kecil untuk menangkap ikan) berjejer di tepian parit yang dangkal. Aktivitas menjaring ikan ini karuan saja menjadi tontonan puluhan warga yang melintas.
Tak hanya orang dewasa yang mencari ikan dengan hancau, anak-anak pun ramai ikut mencari ikan dengan cara tradisional yang ramah lingkungan itu. Menghancau biasanya dilakukan ketika musim kemarau di kubangan atau sungai yang kering.
“Kami menghancau dari hari Kamis (3/1) kemarin, tiap hari bisa dapat sekilo minimal, terus kami jual buat jajan,” ujar Sauki (13), seorang remaja yang ikut menjaring rupiah sembari memperlihatkan ikan yang didapat bersama teman-temannya.
Sauki menghancau bersama 3 orang temannya, sepulang sekolah hingga sore sekitar pukul 17.00 WIB. Hasilnya sebagian dibagi dan dibawa pulang untuk lauk, sedangkan sebagian dijualnya ke orang-rang yang menonton aktivitas tersebut.
Parit ‘gudang ikan’ itu limpahan dari parit-parit di sekitaran bandara yang notabene juga dipenuhi rawa yang masih sangat banyak ikan liar yang hidup di wilayah tersebut. Ikan yang didapat merupakan ikan lokal yang biasa dikonsumsi masyarakat Palangka Raya.
Beberapa jenis yang bisa didapat pada siang hari, antara lain sepat bintik, sepat siam, papuyu, kapar, hingga lais. Beberapa jenis tersebut merupakan jenis ikan favorit untuk dikonsumsi karena rasa yang manis dan gurih jika digoreng.
Seorang pemuda yang tampak mendapatkan banyak ikan menarik perhatian karena menggunakan hancau yang cukup besar. Ibung (33), namanya. Warga Jalan Murjani itu hampir setiap hari datang hanya untuk mencari rezeki dengan mencari ikan dengan cara menghancau.
Dalam sehari Ibung memperoleh ikan antara 10-40 Kg, tergantung kondisi air dan banyak tidaknya orang yang ikut menghancau di parit bandara tersebut. Sekilo ikan yang didapatnya cuma dijual dengan harga Rp15 ribu.
“Dalam sehari kalau dapat banyak dan laris saya bisa dapat sampai Rp500 ribu, seperti beberapa hari lalu. Setelah hujan air naik dan biasanya banyak ikan yang masuk dari rawa ke parit ini,” ungkap pemuda yang juga anggota Linmas di Murjani tersebut.
Ibung mengatakan biasanya mulai menghancau dari pukul 05.00 pagi hingga 17.00 sore. Untuk menjual ikan hasil tangkapannya, Ibung dibantu oleh ibunya yang menjual ikan tepat di pinggir jalan baru Bandara Tjilik Riwut.
Pada malam hari jenis ikan yang didapat pun berbeda dengan jenis-jenis yang didapat pada siang hari. Jika menghancau pada malam hari, Ibung bisa mendapatkan patin sungai, tapah, dan lele. Memang ukurannya tidak terlalu besar, hanya sebesar 2-3 jari saja namun cukup banyak.
Menurut Ibung, warga yang menangkap ikan hanya menggunakan jaring dan dengan cara yang ramah lingkungan, sehingga tidak merusak ekosistem yang ada. Di beberapa daerah sekitar bandara mulai banyak yang menggunakan setrum untuk menangkap ikan.
“Kalau pakai setrum sayang, ikan kecil juga mati nanti tidak ada lagi generasi selanjutnya. Kalau ikan sudah susah nanti kita tidak bisa tangkap ikan lagi, jadi sayang sekali. Saya tidak suka dengan kegiatan menyetrum ikan,” ujarnya.
Hari mulai mendung pertanda harus segera menyudahi kegiatan menangkap ikan tersebut. Satu persatu hancau mulai diangkat dan dilucuti untuk dibawa pulang. Selain menjadi tempat mencari rezeki dari hasil tangkapan ikan, kegiatan ini menjadi tontonan bagi warga yang lewat dan mampir karena penasaran.
“Saya cuma jalan-jalan sama suami dan anak-anak, lalu melihat ada banyak orang jadi saya mampir ternyata di parit ada banyak yang menjaring ikan. Ikan yang didapat juga masih segar jadi bisa dibeli untuk lauk di rumah.” kata Siti, salah satu warga yang menonton. yohanes