PALANGKA RAYA/tabengan.com – Rencana pemindahan ibu kota baru pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang hangat dibicarakan. Terlebih setelah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), beberapa waktu lalu, berkunjung ke wilayah Kabupaten Gunung Mas (Mas) yang ditunjuk sebagai lokasi rencana ibu kota pemerintahan.
Dengan adanya rencana ini, maka muncul berbagai tanggapan dari semua kalangan masyarakat, khususnya di Provinsi Kalteng. Ada bagian masyarakat yang mengaku setuju, namun tidak sedikit pula yang menyatakan keberatan dengan berbagai alasan tersendiri.
Untuk menyatukan berbagai aspirasi masyarakat ini, Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Kalimantan Tengah (Kalteng) kerja sama dengan Universitas Kristen Palangka Raya (UNKRIP) menggelar Seminar Nasional di Palangka Raya, Sabtu (15/6).
Seminar nasional yang diadakan di Aquarius Boutique Hotel tersebut mengangkat tema “Menyambut Ibu Kota Baru NKRI”, dengan narasumber mantan Gubernur Kalteng Dr Agustin Teras Narang SH, Anggota Tim Penasihat Senior Kepala Kantor Staf Presiden Republik Indonesia R Yando Zakaria dan Dr Alue Dohong dari akademisi.
Dalam kesempatan itu, Teras memaparkan bahwa perpindahan ibu kota pemerintahan di dunia saat ini bukanlah hal baru. Sehingga Kalteng jika nantinya dipilih menjadi ibu kota baru Indonesia menggantikan Jakarta tentu harus sudah siap.
Teras menjelaskan, ada banyak negara yang telah memindahkan ibu kota pemerintahannya dari satu kota ke kota lainnya. Tentu dengan berbagai pertimbangan dan alasan pemerintah bersangkutan.
“Perpindahan ibu kota ini bukanlah merupakan barang baru lagi, itu telah dilakukan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat yang memindahkan ibu kotanya ke Washington, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Brazil dari Rio De Jeneiro ke Brasilia dan lain sebagainya,” ucapnya.
Bahkan diterangkan dia, Indonesia juga pernah melakukan perpindahan ibu kota ke beberapa daerah di Indonesia. Di antaranya ke Jogjakarta, Bukit Tinggi dan Banda Aceh.
Kemudian Presiden pertama RI, Soekarno, pada tahun 1957 berkeinginan untuk memindahkan ibu kota pemerintahan NKRI ke Kota Palangka Raya. Hal tersebut merupakan suatu sejarah bahwa Kota Palangka Raya pernah direncanakan untuk menjadi ibu kota pemerintahan RI.
“Tentu, ada satu pertanyaan bagi kita, sejauhmana kesiapan di dalam rangka apabila provinsi Kalteng oleh rakyat NKRI untuk menjadi ibu kota Pemerintahan,” ujarnya.
Selain itu, Teras menegaskan bahwa kelak setelah menjadi anggota DPD RI, dia akan memperjuangkan berbagai hal, pertama adalah mengenai permasalahan desa, dan kedua, permasalahan yang berkaitan dengan tata ruang.
“Ketiga, yang paling penting menjadi perhatian saya adalah menyangkut tentang masyarakat adat, karena masyarakat adat adalah tiang di daerah, di dalam rangka untuk melaksanakan pembangunan, desalah yang akan menjadi perhatian kita juga,” tegasnya.
Sedangkan Anggota Tim Penasihat Senior Kepala Kantor Staf Presiden Republik Indonesia R Yando Zakaria menyatakan sampai sekarang ini masyarakat adat di Kalteng belum diakui secara yuridis atau hukum formal negara.
Yando mengingatkan bahwa adanya rencana perpindahan Ibu Kota Pemerintahan Indonesia ke Kalteng, pemerintah harus bisa mengantisipasi tersingkirnya budaya dan masyarakat lokal yang ada di provinsi ini.
“Jangankan ada Ibu Kota Pemerintahan Indonesia di Kalteng, tanpa itu pun masyarakat adat sudah tersingkir secara fisik dan budaya. Apalagi kalau ada, arus penyingkiran itu 100 kali lebih cepat,” tambahnya.
Ahli Antropologi itu pun mendesak pemerintah pusat maupun daerah yang ada di Kalteng, perlu mewaspadai dan mengantisipasi agar kondisi tersebut tidak terjadi, ketika provinsi ini dipilih sebagai lokasi Ibu Kota Pemerintahan Indonesia.
Dia mengatakan peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini bukan untuk mengakui keberadaan masyarakat adat, melainkan upaya menyingkirkan. Hal itu disebabkan adanya kesalahan formulasi, asumsi ataupun konseptualisasi tentang siapa itu masyarakat.
“Aturan yang menyingkirkan keberadaan masyarakat adat ada di UU Kehutanan maupun UU Pertanahan. Bahkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012 menyatakan keberadaan masyarakat adat harus ditetapkan melalui peraturan daerah (perda),” kata Yando.
Yando mengatakan salah satu cara mengantisipasi agar masyarakat adat tidak tersingkir secara fisik maupun budaya, perlu diakui keberadaannya dan diberikan kepastian dalam penguasaan lahan. Melalui kepastian penguasaan lahan itulah eksistensi masyarakat adat di Kalteng untuk mengembangkan kehidupan dan budaya bisa terjadi.
Sementara Alue Dohong dalam paparannya menjelaskan terkait berbagai aspek yang akan mempengaruhi bila ibu kota pemerintahan benar-benar pindah ke Provinsi Kalteng, baik itu aspek positif maupun negatif.
Misalnya keberadaan infrastruktur yang ada sekarang ini, meski sudah cukup baik namun masih kurang, sehingga perlu dilakukan peningkatan pembangunan infrastruktur yang lebih baik lagi.
Termasuk minimnya jaringan telekomunikasi yang sangat dibutuhkan pada era digital sekarang. Sementara di wilayah Kalteng masih kurang untuk menunjang kebutuhan teknologi informasi.
“Kemudian sumber daya manusia (SDM) juga terbatas, baik dari sisi jumlah dan kualitasnya. Lalu masalah lingkungan hidup yang juga menjadi perhatian seperti limbah dan lainnya,” kata dia.
Sebelumnya, Ketua DPRD PIKI Provinsi Kalteng Sipet Hermanto mengatakan munculnya ide mengadakan seminar nasional melihat berbagai aspirasi masyarakat setelah Provinsi Kalteng menjadi salah satu lokasi kandidat jadi ibu kota pemerintah RI.
“Karena itu masyarakat lokal harus tahu apa yang dilakukan, bagaimana pemberdayaan masyarakat, perlindungan hak-hak masyarakat, dan tidak kalah penting adalah pendidikan,” jelas Sipet.
Sehingga dengan seminar ini diharapkan masyarakat Kalteng dapat memahami dengan jelas apa yang harus dilakukan, sehingga mampu mengambil peluang dengan pemindahan ibu kota untuk ikut serta memberikan dampak positif bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.adn/ant