Phnom Penh/tabengan.com – Amerika Serikat (AS) mendesak Kamboja, Jumat, untuk menyelidiki zona ekonomi khusus milik China setelah mengungkap adanya upaya yang dilakukan oleh perusahaan di wilayah itu untuk menghindari pajak atas produk yang hendak diekspor ke AS.
Pengelola Zona Ekonomi Khusus Sihanoukville (SSEZ) di bagian barat ibu kota Phnom Penh itu telah membantah tuduhan AS bahwa mereka mengizinkan perusahaan-perusahaan untuk melakukan pengiriman barang melalui zona itu, dengan menyebut bahwa penyelidikan internal tidak menemukan adanya kegiatan tersebut.
“AS akan secara agresif mengejar tuduhan penghindaran pajak dan akan memanfaatkan semua alat hukum yang tersedia untuk menghalau para pelanggar kepabeanan dan peraturan perdagangan AS,” kata juru bicara Kedutaan AS Emily Zeeberg dalam keterangannya kepada Reuters.
Dia menambahkan, alat hukum yang dimaksud bisa termasuk tuntutan perdata maupun pidana, atau cara penegakan hukum lainnya.
“Kami meminta pemerintah Kamboja untuk mengamati dengan lebih cermat pemerintahan dan masalah kepatuhan di SSEZ,” ujar Zeeberg.
Sementara itu, pihak SSEZ belum menanggapi permintaan Reuters untuk memberikan komentar.
Juru bicara Kementerian Perdagangan Kamboja, Seng Thai, menolak berkomentar dan hanya merujuk pada pernyataan pemerintah pada 23 Juni lalu bahwa mereka menolak tuduhan itu karena dianggap “tidak berdasar”, dan menambahkan bahwa prosedur operasi di zona itu sudah jelas.
Sejak tahun 2017, terdapat dua kasus menyangkut perusahaan-perusahaan di SSEZ yang ditemukan mengimpor barang-barang kiriman yang dipindahkan dari satu kapal ke kapal lainnya di lautan, seperti bahan kimia glisina dan sambungan pipa besi, dan mereka kemudian dikenai bea masuk antidumping, tambah Kedutaan AS dalam keterangannya.
“Pada kedua kasus itu, petugas AS melakukan inspeksi di lokasi SSEZ dan menentukan bahwa, meskipun direpresentasikan sebagai Kamboja, barang-barang yang ditemukan adalah asal China yang hendak diimpor ke AS,” tulis Kedutaan AS dalam keterangan yang sama.
Kepabeanan AS pada bulan ini menyebut bahwa mereka juga menemukan banyak kasus para pengekspor yang secara ilegal melabel ulang barang-barang China dengan “Buatan Vietnam” untuk menghindari biaya yang diterapkan dalam perang dagang AS dan China.