Tabengan.com – Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB pagi, Liliana (27) yang akrab disapa Lili bersiap berangkat menuju dermaga Desa Petuk Katimpun. Perjalanan dari rumahnya di Jalan Tjilik Riwut Km 9 sekitar 15 menit dengan menggunakan motor.
Sesampainya di Dermaga Petuk Katimpun, suara mesin kelotok sudah berbunyi, tanda perjalanan segera dimulai menuju Desa Penda Barania untuk bertemu anak-anak yang menanti di dermaga kecil. Jantung berdebar tak sabar disambut senyum keceriaan anak-anak kecil yang semangat ingin belajar.
“Saya selalu senang dan semangat tiap kali mau ke desa-desa dampingan Ransel Buku karena anak-anak selalu menanti kedatangan saya untuk mengajar mereka,” ucap perempuan yang sudah mengajar di komunitas Ransel Buku, sejak Januari 2017 kepada Tabengan.
Lili mengatakan, ada empat desa yang menjadi dampingan Ransel Buku, antara lain Desa Penda Barania, Desa Tanjung Sangalang, Desa Marang, dan Desa Petuk Katimpun. Perjalanan menuju Desa Penda Barania ditempuh dengan menggunakan perahu kelotok sekitar 1,5 jam.
Dengan kelotok kecil dirinya dan seorang sopir kelotok menyusuri Sungai Rungan, tepian yang surut memunculkan batang-batang kayu besar yang tersangkut di pinggir sungai. Hutan yang lebat di kanan kiri dan sesekali burung-burung tampak menari di langit biru.
Setelah tiba di sana tampak 12 anak sudah menantinya sembari memeluk buku dan berteriak memanggil namanya. Perlahan ia turun dan menyapa anak-anak itu sembari berjalan menuju rumah berwarna hijau yang dipakai untuknya mengajar.
“Di sini kami tidak cuma belajar akademis, tapi lebih ke pendidikan lingkungan, budaya, dan literasi. Kalau akademis hanya membantu mereka mengerjakan PR dari sekolah, selebihnya kami belajar menari, mengenal tumbuhan, mengelola sampah, bernyanyi, bahkan sekadar bercerita,” tuturnya.
Lili juga mengungkapkan bahwa dirinya menjadi seorang guru merupakan panggilan, melakukannya penuh dengan kebahagiaan. Selain menjadi pengajar di Ransel Buku, sehari-hari Lili juga melakukan les private Bahasa Inggris.
“Saya memang mendapat gaji, tapi tidak sebesar gaji guru pada umumnya, karena hanya dari donor, ya sebagai pengganti ongkos bensin dan uang lelah saja, toh saya juga tidak mengharap lebih karena saya suka melakukan pekerjaan ini,” ungkapnya.
Tak jarang Lili bersama teman-temannya melakukan aksi penggalangan dana melalui medsos dan menjual beberapa jenis cenderamata untuk menutup biaya operasional. Semua dilakukannya secara sukarela dan semangat untuk anak-anak di desa yang kesulitan akses pendidikan.
Kendala di lapangan sering dirasakannya, mulai dari hujan lebat ketika menyusuri sungai, jalan berlumpur, atau mesin kelotok yang mogok di tengah sungai.
“Saya pernah waktu naik kelotok hujan lebat dan angin sampai atap kelotok yang kami tumpangi patah,” bebernya sembari tertawa mengingat kejadian itu.
Semua kendala tak dihiraukannya, dukungan dari suami pun menjadi semangatnya setiap menuju desa-desa untuk mengajar. Terlebih ia selalu ingat bagaimana wajah anak-anak di desa saat menunggunya, memeluk buku sembari kehujanan di tepi dermaga hanya untuk bertemu dan belajar dengannya.
Semangat dari anak-anak itulah yang selalu membuatnya bahagia dan terus mengajar demi anak-anak desa dapat mengenyam pendidikan yang layak seperti di kota pada umumnya.
“Semoga semakin banyak orang, terlebih pengajar yang mau keluar ke desa-desa, karena masih banyak anak-anak di Kalteng ini yang butuh sorang guru,” harapnya sembari tersenyum. yohanes