PALANGKA RAYA/tabengan.com – Meski Pemerintah Kota Palangka Raya menutup secara resmi lokalisasi Bukit Sungkai pada 29 November 2019, namun faktanya aktivitas kompleks hiburan yang berada di Jalan Tjilik Riwut Km 12 itu masih beroperasi.
Pantauan Tabengan, Kamis (12/12) malam, aktivitas lokalisasi Bukit Sungkai masih buka seperti biasanya. Bahkan, sebelum memasuki kompleks juga dipungut biaya parkir untuk sepeda motor Rp5.000 dan mobil Rp10.000.
Tercatat, sebanyak 32 cafe dan karaoke beroperasi dengan menawarkan sejumlah wanita penjaja seks komersial (PSK). Sejumlah pelanggan juga tampak bersantai, sembari menghabiskan beberapa botol bir dan bercengkerama dengan para wanita.
“Beberapa sudah tutup Mas, pindah ke warung di pinggir Jalan Tjilik Riwut. Di sini masih buka, malah ada beberapa yang baru datang, bagus-bagus barangnya yang baru ini,” ujar Sintia (33) sembari menawarkan anak-anak asuhnya.
Sintia mengatakan, lebih banyak dari Jawa karena kebanyakan dari daerah lokal lebih memakai aplikasi chating untuk menjajakan diri, ketimbang langsung ke lokalisasi. Tarif yang diberikan cukup bervariatif, tergantung layanan yang akan didapatkan.
“Pijat plus Rp250 ribu, sedangkan untuk ladies bisa short time atau long time seharga Rp300-800 ribu,” ungkapnya.
Sesekali terlihat ada kendaraan yang berpelat merah, atau Sintia biasa menyebutnya pelat bergincu sedang melewati sejumlah rumah sembari melihat para wanita yang siap melayani. Menurut Sintia, banyak kendaraan pelat bergincu yang datang, khususnya hari-hari tertentu.
“Kalau di sini lebih aman Mas, jarang ada gerebekan, makanya pelat bergincu berani masuk. Yang biasanya gerebek lebih suka datang ke pinggir jalan karena setorannya lebih besar,” ujar Sintia, sembari tertawa.
Sebelumnya, Wali Kota Palangka Raya Fairid Nafarin menyampaikan penutupan lokalisasi Bukit Sungkai menjadi komitmen penuh Pemko dalam membebaskan wilayahnya dari lokalisasi. Namun, ditutupnya lokalisasi tidak membuat Pemko Palangka Raya lepas tangan. Pemerintah secara berjenjang siap untuk berkoordinasi dalam melakukan pembinaan terhadap penghuni eks Bukit Sungkai.
“Dampak sosial bagi anak-anak juga sangat buruk karena lokalisasi berada di tengah masyarakat. Kondisi ini secara tidak langsung berdampak pada tumbuh kembang psikologis anak. Anak kesulitan untuk membedakan perbuatan baik dan buruk. Setiap hari, anak-anak disuguhkan realitas yang menggerus nilai moral dan agama,” kata Fairid, saat memberikan sambutan pada Deklarasi Penutupan Lokalisasi dan Gerakan Palangka Raya Bebas Prostitusi.
Fairid menyebut di lokalisasi Bukit Sungkai ada terdapat 84 PSK, 58 di antaranya berasal dari luar Kalteng. 28 orang berasal dari Jawa Timur, 13 orang dari Jawa Barat, 7 orang dari Jawa Tengah, 2 orang dari Yogyakarta, 2 orang dari Kalimantan Timur, 2 orang dari Kalimantan Selatan, 1 orang dari Jambi, 1 orang dari Lampung, dan 1 orang masing-masing dari Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Sementara dari Kalteng sebanyak 26 orang.
Fairid mengakui, penutupan lokalisasi tentu akan berdampak pada terjadinya prostitusi terselubung. Tugas ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah, instansi terkait, dan juga masyarakat dalam melakukan pengawasan. Kontrol sosial dilakukan untuk mencegah munculnya praktik prostitusi di Palangka Raya. tim