Menepis Stereotip Generasi Milenial Sebagai “Kaum Rebahan”

Tabengan.com – Sebagai generasi dengan predikat populasi terbanyak, para milenial kerap diidentikkan dengan kaum rebahan. Di usia 20-an hingga 30-an, rebahan merupakan hal yang sangat berharga. Terlebih lagi untuk melepas lelah usai melewati hari-hari yang menguras tenaga, waktu, serta pikiran baik karena pekerjaan, kuliah, kegiatan komunitas, dan lain-lain.

Istilah “kaum rebahan” mulai muncul sejak aksi demo para mahasiswa pada September lalu dan terus digaungkan hingga saat ini. Istilah itu merujuk pada orang-orang yang lebih memilih untuk bersantai dan berbaring di kasur daripada mengisi waktunya dengan hal yang positif dan produktif.

Sayangnya, istilah kaum rebahan justru menimbulkan stereotip negatif terhadap para milenial. “Malas, tidak produktif, melewatkan kesempatan, tidak mempunyai target, serba instan, tidak menghasilkan apa-apa.” Setidaknya poin-poin tersebut yang saya dapatkan ketika surfing di internet mengenai kaum rebahan.

Nyatanya, stereotip terhadap milenial yang dianggap generasi pemalas sudah ada sejak 2013 melalui laporan yang dikeluarkan oleh Time. Selain pemalas, para milenial juga sering dianggap enggan bekerja keras, narsis, menyukai sesuatu yang instan, bergantung pada teknologi, mengerjakan sesuatu tanpa keringat, ingin terdidik tetapi tidak juga lulus kuliah.

Riset yang dilakukan oleh Ipsos MORI Social Research Institute menunjukkan bahwa perbedaan usia pada tiap generasi menimbulkan persepsi yang kontras satu sama lain. Bobby Duffy, Managing Director dari lembaga riset tersebut menyatakan, “Generasi muda selalu menjadi target ejekan dari generasi yang lebih tua.”

Perbedaan persepsi yang menimbulkan stereotip tertentu adalah hal yang tidak dapat dihindari. Pasalnya, tiap-tiap generasi memiliki karakteristik, kebiasaan, nilai, pola pikir, dan budaya yang berbeda-beda. Menurut Manheim (1952), generasi merupakan sebuah konstruksi sosial, yang di dalamnya terdapat sekelompok orang dengan kesamaan umur dan pengalaman historis. Generasi adalah sekelompok individu yang dipengaruhi oleh kejadian-kejadian bersejarah dan fenomena budaya pada fase kehidupan mereka (Twenge, 2006).

Generasi millenial sendiri dibesarkan oleh kemajuan teknologi. Hal ini membuat para milenial melibatkan teknologi dalam berbagai aspek kehidupannya. Selain itu, generasi milenial juga memiliki pola pikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Lahir dan dibesarkan pada saat gejolak ekonomi, politik, dan, sosial melanda Indonesia membuat para milenial tumbuh sebagai generasi yang open minded, kritis, menjunjung tinggi kebebasan, dan berani (BPS, 2018).

Generasi milenial dapat dikatakan sebagai subkultur berdasarkan usia (Schiffman & Kanuk, 2010). Sebagai sebuah subkultur tentu generasi milenial memiliki identitas kolektif yang berbeda dari budaya dominan. Identitas kolektif tersebut berguna untuk menepis stereotip negatif yang diberikan kepada milenial akibat munculnya istilah kaum rebahan.

Terdapat banyak riset yang membantah stereotip milenial sebagai generasi pemalas. Aktivitas berbaring di kasur bagi generasi milenial bukanlah hambatan untuk tetap produktif. Dengan berkembangnya teknologi dan media internet, memungkinkan para milenial untuk menuntaskan tanggung jawabnya dimana pun dan dalam kondisi apapun, termasuk berbaring.

Sembari berbaring, para milenial dapat ber-multitasking, seperti belajar, belanja, bersosialisasi di satu waktu yang sama. Tidak hanya hal yang sifatnya menghibur, sambil berbaring para milenial juga mampu menjalankan bisnis secara online. Berdasarkan riset, 7 dari 10 milenial mempunyai jiwa entrepreneurship yang tinggi (IDN Research Institute, 2019). Tidak heran saat ini banyak bisnis online yang bermunculan.

Selain itu, banyak juga milenial yang beralih dari pekerjaan yang pergi pagi pulang petang menjadi pekerjaan yang lebih fleksibel seperti freelance. Laporan dari Freelancers Union dan Upwork menyebutkan bahwa sebanyak 47 persen pekerja generasi milenial memilih bekerja freelance.

Terkait dengan stereotip yang muncul bahwa generasi milenial adalah generasi yang enggan bekerja keras, riset oleh ManpowerGroup memberikan hasil yang mengejutkan. Riset tersebut menunjukkan bahwa para milenial bekerja lebih keras dari generasi sebelumnya. Sebanyak 73 persen milenial di dunia bekerja 40 jam seminggu dan seperempatnya bekerja lebih dari 50 jam seminggu. Selain itu, sebanyak 26 persen di antaranya mempunyai lebih dari satu pekerjaan.

Orientasi bekerja antara milenial dengan generasi sebelumnya juga berbeda. Apabila generasi sebelumnya berorientasi pada gaji atau upah, milenial tidak bekerja semata-mata untuk gaji melainkan untuk mengejar tujuan. Para milenial melihat pekerjaan sebagai proses pengembangan diri. Apabila pekerjaan dirasa tidak berdampak pada pengembangan diri, maka milenial akan memilih untuk mencari pekerjaan lain. Hal ini membuat fenomena turnover banyak terjadi di kalangan milenial, namun semata karena para milenial mencari pengembangan diri pada pekerjaannya.

Berdasarkan data-data tersebut, maka stereotip negatif yang muncul terhadap generasi milenial sebagai kaum rebahan tidak sepenuhnya benar. Namun, stereotip dari sekelompok orang terhadap orang lainnya memang hal yang tidak dapat dihindari. Munculnya stereotip tidak lain karena tiap-tiap kelompok mempunyai perbedaan masing-masing sehingga menimbulkan cara pandang tertentu. Agar dapat meminimalisasi stereotip, maka tiap-tiap individu harus menyadari bahwa tiap-tiap kelompok mempunyai keunikan tersendiri sehingga tidak dapat disamakan dengan kelompok yang lain.