Peladang Ditangkap, Antropolog Pertanyakan Program Cetak Sawah

PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM – Ditangkapnya peladang karena membuka lahan dengan cara membakar, memunculkan repon dari banyak kalangan, termasuk Antropolog Kalimantan Tengah (Kalteng) Gauri Vidya Dhaneswara. Menurut pria yang akrab disapa Gauri ini, benar pemerintah tidak melarang masyarakat untuk berladang, yang dilarang adalah membakar lahannya. Permasalahannya, mekanisme membakar untuk membuka ladang sudah lama dilakukan.

Memang, kata Gauri, ladang tidak bisa dipastikan kapan dimulainya, diperkirakan proses perladangan terjadi sejak masyarakat dayak mengenal beras. Bisa dikaji, kapan masyarakat dayak mengenal beras, untuk kemudian menjaga beras tersebut tetap ada, demi memenuhi kebutuhan, dan pilihannya adalah berladang.

Gauri menjelaskan, pemerintah melarang bahkan menangkap para peladang Kalteng yang membuka ladang dengan cara membakar. Padahal, dampak bahkan anggaran yang dikeluarkan itu relatif sangat sedikit, namun berkontribusi besar terhadap dukungan pangan di Kalteng. Berbeda dengan program cetak sawah ataupun bantuan bibit yang diberikan pemerintah seperti jagung, yang sampai saat ini masih tidak diketahui seperti apa kontribusinya.

“Bayangkan saja, berapa anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk melaksanakan program cetak sawah. Namun sampai sekarang, siapa yang mengelola lahan tersebut, dan seberapa besar hasil yang diberikan. Demikian pula dengan bantuan bibit jagung, seberapa besar kontribusi yang diberikan dari hasil jagung tersebut, dibandingkan dengan bantuan yang diberikan oleh pemerintah,” kata Gauri, mengkritisi kebijakan pemerintah yang menangkap para peladang Kalteng, Selasa (14/1) di Palangka Raya.

Gauri menyampaikan, sebagai peneliti masih belum bisa dipastikan seperti apa kontribusi yang diberikan dari program cetak sawah, yang menelan anggaran sedemikian besar itu. Demikian pula dengan bantuan bibit jagung, apakah bantuan itu memang sudah tepat diberikan, mengingat untuk sejumlah daerah membuka lahan untuk menanam jagung harus dengan cara membakar pula.

Ada begitu banyak bibit jagung, kata Gauri, yang tidak bisa ditanam karena tidak memiliki lahan. Siapa yang berani membuka lahan dengan cara membakar untuk lokasi menanam jagung, meskipun itu merupakan bantuan dari pemerintah. Sementara peladang, berkontribusi yang cukup besar bagi pangan Kalteng, ditengah dan yang dikeluarkan pemerintah relatif lebih sedikit, atau mungkin tidak ada.

Penangkapan peladang, ungkap Gauri, bahkan berujung pada pidana memberikan dampak lain, yakni hilangnya kearifan lokal Kalteng. Kebijakan itu membuat para peladang tidak bisa lagi berladang, yang bukan tidak mungkin kata peladang ataupun ladang sendiri hanya sebatas sebuah kata semata, karena tidak ada lagi yang melakukannya, akibat kebijakan pemerintah yang tidak dibarengi dengan solusi.ded