PALANGKA RAYA/tabengan.com – Anggota DPD RI Agustin Teras Narang kembali menjalankan reses virtual, Rabu (20/5/2020), terkait dengan pengawasan UU No 06 tahun 2014 tentang Desa. Hadir dalam pertemuan ini dari Dinas Sosial Provinsi Kalteng, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kalimantan Tengah, P3MD Barito Selatan, Camat Jabiren Raya, Camat Kahayan Tengah, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kalteng, serta masyarakat yang tergabung dalam beberapa lembaga.
Dalam pengantarnya, Teras mengutip catatan dari Kementerian Desa terkait 5 provinsi dengan penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa terendah yakni Provinsi Banten, Provinsi Sumut, Provinsi Kalteng, Provinsi Kalbar dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan pertemuan yang membahas mulai dari isu bantuan sosial hingga Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) ini, banyak catatan menarik. Pertama adalah terkait rendahnya penyaluran BLT Desa di Kalteng yang baru mencapai sekitar 4 persen dari sejumlah 1.433 desa, mendapatkan masukan bahwa lambannya penyaluran ini berkaitan dengan validasi data yang cukup panjang demi menghindari duplikasi.
Belum lagi, ada perubahan regulasi dari kementerian terkait, sehingga menyulitkan perangkat desa dan jajajaran pemerintah daerah dalam penetapan jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Sementara itu dari sisi daerah, pemutakhiran data yang menjadi kewenangannya, ada yang tidak menjalankan dengan baik. Bahkan disebut ada wilayah kabupaten yang tidak melakukan penganggaran untuk pemutakhiran data sehingga validasinya bertambah rumit di tengah pandemi.
“Belum lagi soal minimnya akses internet dan persoalan kualitas sumber daya manusia dalam mengakses teknologi baru berkaitan pelaporan serta pengelolaan dana desa. Semua menjadi tumpukan persoalan merepotkan dalam situasi pandemi yang mana harusnya kita sudah siap sedia,” ujarnya.
Situasi ini menurut Teras, menunjukkan bagaimana rantai birokrasi masih sangat membebani masyarakat. Belum ada efektivitas dalam sistem penyaluran bantuan sosial dari lintas kementerian dan lemahnya pemutakhiran data di daerah. Sehingga hal ini berdampak pada tidak efisiennya cara kerja penyaluran bansos saat ini.
Namun ditegaskan, tidak ada waktu saling menyalahkan dalam keadaan ini. Sebab semuanya memiliki kelemahan masing-masing yang perlu dibenahi. Terutama menyangkut perlunya satu leading sector dalam urusan penanganan masyarakat desa. Sebab selama ini adanya kewenangan terpisah Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi juga menimbulkan persoalan.
“Belum lagi saat harus berurusan dengan Kementerian Keuangan terkait anggaran dan Kementerian Sosial terkait bantuan. Kondisi ini membuat kita tak cepat tanggap karena sistem yang mengintegrasikan aturan serta kewenangan lintas kementerian belum terbangun baik,” terangnya.
Sementara, Borneo Institute, sebuah lembaga yang konsisten dalam memperjuangkan masyarakat adat di Kalteng juga meminta kepada pemerintah melalui DPD RI, agar persoalan tumpang tindih kewenangan di berbagai kementerian ini bisa lekas diselesaikan. Selain tentu saja mereka menitipkan harapan terkait perjuangan penetapan desa adat di Kabupaten Gunung Mas yang beberapa waktu lalu kami kunjungi.
Lalu dari sisi daerah pun, hal ini menjadi problem karena ketidaksigapan pemerintah daerah dalam melakukan pemutakhiran data kependudukan hingga pendampingan desa. Dampaknya terasa sekali dalam situasi ini. Rakyat termasuk perangkat desa juga akhirnya yang terdampak.
“Oleh karena itu, perhatian pada desa ini harus kita tingkatkan. Termasuk untuk mencegah berbagai situasi termasuk pandemi Covid-19 menghancurkan ekonomi desa. Salah satunya adalah dengan segera melakukan pembenahan data KPM dan mekanisme penyaluran yang mudah dijangkau penerima manfaat. Kita harapkan kerjasama pusat dan daerah dapat melahirkan terobosan serta cara baru dalam pengelolaan data kemiskinan yang perlu dientaskan, agar desa bisa berdaya dan sejahtera,” bebernya. ist/adn