PALANGKA RAYA/tabengan.com – Setelah gagalnya upaya mediasi sengketa tanah melalui Dewan Adat Dayak (DAD) Kota Palangka Raya, Yunita Andrie kini mengharap penyelesaian dari Majelis Sidang Adat. Tapi karena salah satu pihak tidak mau hadir, Kardinal Tarung selaku Damang Adat Kecamatan Jekan Raya selaku Ketua Majelis Sidang Adat mengaku kecewa.
“Padahal kita hendak mengupayakan Perdamaian Adat, tapi kalau tetap diabaikan terpaksa kita buat Putusan Adat,” ujar Kardinal dalam persidangan di Kantor Damang Adat Dayak Kecamatan Jekan Raya, Kamis (20/8/2020).
Perkara yang disidangkan bermula dari sengketa tanah antara Yunita Andrie dengan TH. Meski TH merupakan suku pendatang, namun istrinya merupakan suku Dayak sehingga Yunita masih berupaya mencari solusi melalui mediasi damai.
Namun upaya mediasi melalui DAD Kota Palangka Raya gagal karena TH menolak hadir. Ketua Lembaga Kerukunan Masyarakat Batak Kalimantan Tengah (LKMB-KT) juga gagal membujuk TH untuk hadir dalam mediasi tersebut. Akhirnya upaya berujung pada sidang oleh Majelis Sidang Adat.
Selain Damang, terdapat enam Mantir yang akan duduk sebagai Majelis Sidang Adat. Kardinal menjelaskan tujuan hukum adat adalah menciptakan ketentraman dan ketertiban dengan menghentikan segala pertengkaran dan perselisihan.
“Karena berhubungan dengan hal gaib juga, maka ada nantilang sial kawe atau menetralisir aspek kesialan dengan ritus tampung tawar atau pesta adat,” papar Kardinal. Agenda sidang pertama itu untuk mendengar permohonan gugatan dari Yunita sehingga TH mendengar dan dapat memberikan tanggapan dalam persidangan berikutnya. Tapi TH tidak hadir dalam sidang dengan alasan telah menyerahkan kasusnya kepada Mantir Adat Kelurahan Palangka Elison B Nyahun.
“TH harusnya memahami bahwa Mantir Adat adalah pembantu Damang yang tidak dapat membuat suatu keputusan,” tutur Kardinal. Elison akhirnya dipanggil dalam sidang dan mengaku hanya menerima titipan surat dan bukan bermaksud membuat keputusan atau sebagai penerima kuasa dalam persidangan.
Rencananya Majelis akan melayangkan pemanggilan kedua bagi TH agar hadir dalam persidangan berikutnya. “Batasnya adalah tiga kali pemanggilan,” kata Kardinal. Bila kedua pihak dapat hadir dalam persidangan, diupayakan agar ada jalan tengah bagi semua pihak yang merupakan tujuan utama dari Perdamaian Adat.
Namun, bila hingga panggilan ketiga ada pihak yang tetap tidak mau hadir, maka persidangan akan tetap dilanjutkan meski hanya salah satu pihak yang hadir. “Majelis harus membuat Putusan Adat,” tegas Kardinal.
Dia menyayangkan bila ada pihak yang tidak hadir karena merugikan dirinya sendiri karena hanya ada pernyataan dan pembuktian dari satu pihak saja. Dengan kehadiran seluruh pihak maka Majelis akan melakukan penilaian secara berimbang berdasarkan pengakuan, saksi, sumpah, persangkaan, dan bukti surat yang ada dalam persidangan adat.
“Kita berupaya mengedepankan pribadi belum bahadat yaitu menjaga kekokohan pilar huma betang yaitu kejujuran, kesetiaan atau ketaatan, kesetaraan, kebersamaan, musyawarah dan mufakat,” pungkas Kardinal. dre