PALANGKA RAYA – Bertempat di Rumah Makan Serba Kandas Jalan Kutilang, Palangka Raya, Forum Pemuda Dayak (Fordayak) berkolaboirasi dengan Forum Pemuda Kalimantan Tengah (Forpeka) dan PT. Indo Muro Kencana (IMK) gelar Acara Obrolan Fordayak dengan Tema “Diskusi Implementasi Hukum Adat Tumbang Anoi Masih Relevankah?, Via Zoom Meeting, Sabtu, (24/10).
Acara dihadiri oleh Senator DPD RI Dapil Kalteng Dr. Agustin Teras Narang, sebagai Keynote Speaker dan di dukung oleh 4 orang Nara Sumber antara lain; Drs. Kardinal Tarung mewakili Kedemangan, juga Dr. Mambang I Tubil dari Hukum Adat. Selain itu ada pula Yanedi Jagau SE, Direktur Borneo Institute dan Eko Subagyo S.Si., MM, Praktisi Pemberdayaan Masyarakat.
Dalam acara tersebut, Teras mengatakan bahwa spirit dari perjanjian Tumbang Anoi yang telah berusia 126 tahun lalu itu telah diwarisi kepada generasi saat ini oleh para leluhur bangsa Dayak yang mana mengandung sebuah semangat untuk bersatu.
“Bila kita mencermati sebagai momen persatuan, sejatinya masyarakat dayak kala itu melampaui, kesadaran nasional Indonesia. Yang terbentuk kemudian dan baru tahun 1908, yaitu pada saat Budi Utomo. Kemudian juga, peristiwa Tumbang Anoi memiliki pula deklarasi persatuan pemuda Indonesia, sumpah pemuda yaitu pada tahun 1928,” ujarnya.
Selanjutnya ditambahkan Teras, meski persatuan masyarakat Dayak yang dimulai di Tumbang Anoi ini, lebih pada lahirnya budaya baru yang menjunjung perdamaian bukan sebuah peristiwa politik yang melahirkan nasionalisme Dayak. Kemudian, persatuan di Tumbang Anoi secara tidak langsung mengatasi banyak tantangan perkembangan masyarakat Dayak kala itu. Dengan hilangnya kebiasaan perang diantara sesama masyarakat Dayak, tantangan baru adalah bagaimana masyarakat Dayak bisa hidup sejahtera dan berperan dalam tatanan dunia yang sama.
Pada kesempatan itu pula, Drs. Kardinal Tarung, mengatakan Hukum Adat Tumbang Anoi 1894 masih memiliki relevansi karena tidak lebih dan tidak kurang, sebagai hukum dasar milik orang Dayak.
“Saya temukan di buku Tjilik Riwut berjudul ‘Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaannya’ bahwa Dayak yang merupakan label kolektif etnisitas penduduk asli Kalimantan ini, terbagi lagi atas sub-sub Dayak, dan melaksanakan hukum adat menurut keadaan lokalitannya,” bebernya.
Selanjutnya dikatakannya, hukum adat adalah bersumber dari kebiasaan-kebiasaan. Disamping, ada pula sumber dari legenda dan mitos suci Dayak, dan ungkapan-ungkapan tradisional. Apabila disebutkan sumber hukum adat itu bisa saja terjadi perubahan, tetapi masih dapat diakomodir dengan adanya peraturan-peraturan yang dibuat oleh Damang. “Seperti Damang Salilah ada 400 lebih pasal dan itu, mendunia. Setahu saya ada beberapa terjemahannya dalam beberapa bahasa,” imbuhnya.
Selanjutnya juga ditambahnkannya, peraturan yang dibuat oleh Damang itu, dijamin oleh Perda. Sebagai contoh di Perda 16 tahun 2008 yang diubah dengan Perda I tahun 2020 Bab VI pasal 10 yang mengatakan Damang boleh membuat peraturan Damang.
“Tentu saja masih harus dipertanyakan kompetensi atau kapasitas Damang dan seterusnya-dan setrusnya,” imbuhnya lagi.
Selanjutnya, senada dengan itu, Mambang Tubil, mengatakan perjanjian Tumbang Anoi yang mana 126 tahun lalu dicetuskan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Dayak agar dapat sejajar dengan masyarakat dari daerah lain. Perjanjian Tumbang Anoi adalah sebuah fakta sejarah yang tidak dapat dipungkuri, yang mana menghasilkan sebuah hukum adat dengan 96 pasal di dalamnya.
“Ada salah satu ketentuan yang mengatur pengakuan tentang kewenangan masyarakat adat bisa menggunakan kelembagaan adat dalam penyelesaian masalah, atau kedaulatan/status kelembagaan adat termasuk lembaga Kedamangan,” ujarnya.
Selanjutnya, Yanedi Jagau SE, dari Borneo Institute dalam paparannya mengatakan bahwa Tumbang Anoi merupakan tempat paling bersejarah bagi masyarakat suku Dayak yang mana telah menghasilkan “kitab hukum” yang masih relevan hingga saat ini.
“Tentu saja relevan, tetapi pertanyaannya adalah bagaimanakah derajat relevansinya, apakah makin berbobot. Tapi nyatanya bahkan Tumbang Anoi malah tidak dapat membela dirinya dari serangan investor. Dia menyarankan untuk mengusulkan Tumbang Anoi jadi Desa Adat,” bebernya.
Pada bagian akhir paparan dari Nara Sumber, Eko Subagyo mengatakan para leluhur suku Dayak datang ke Tumbang Anoi dengan suatu kesadaran dan upaya yang luar biasa. “Mereka Digerakkan dengan satu tujuan dan hal tersebut merupakan bagian dari pemberdayaan.
Selanjutnya Eko mengatakan, pemberdayaan adalah sebuah proses panjang yang diawali dari perubahan pola pikir. Ada satu kesadaran, ada mentang model yang terbentuk, struktur sistem yang dibangun dan didukung perubahan prilaku. Dari perubahan yang terjadi pada setiap orang yang datang saat itu, ada satu consensus, yaitu dipahami bersama, sebagai sebuah nilai-nilai dasar, sehingga hal tersebut masih relevan hingga saat ini.
“Berbicara relevansi, ya relevan. Seperti pak Damang tadi sampaikan belum ada hukum yang bisa menggantikan. Sehingga upaya para leluhur kita saat itu di Tumbang Anoi, itu bisa tetap kita jalankan sekarang,” ujarnya. dsn