PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM – Masyarakat Kota Palangka Raya sempat heboh saat mengetahui Wali Kota Palangka Raya Fairid Naparin yang pernah menderita Covid-19, juga mendapat suntikan vaksin Covid-19. Padahal dalam petunjuk teknis (juknis) Kementrian Kesehatan RI, menyebut pihak yang pernah mengidap Covid-19 tidak boleh menerima vaksin. “Ada penyalahgunaan kewenangan, Dinas Kesehatan yang bertanggung jawab. Kenapa diprioritaskan Wali Kota yang pernah positif? Juknisnya jelas, siapa yang prioritas,” kata Praktisi Hukum Guruh Eka Saputra, Jumat (15/1/2021) lalu.
Menurut Guruh, ada golongan tertentu yang masuk dalam kategori prioritas penerima vaksin. Terkait kategori penerima vaksi yang diprioritaskan tetapi dalam kenyataanya malah tidak menerima pelayanan prioritas tersebut dan justru yang tidak prioritas yang menerimanya, tidak ada sanksi hukum yang mengatur keadaan teknis tersebut.
“Tetapi jika hal tersebut dilakukan secara terstruktur dengan mengorbankan penerima prioritas lainnya dalam skala besar dan menimbulkan efek resiko kesehatan masyarakat menjadi darurat kesehatan masyarakat, maka perbuatan tersebut bisa dikategorikan ke menghalang-halangi pelaksanaan kekarantinaan kesehatan dan dapat dipidana dengan Pasal 93 UU Kekarantina Kesehatan Juncto Pasal 14 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular,” tegas Guruh.
Pasal 93 UU mengatur, bagi setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantina kesehatan dan atau menghalangi penyelenggaraan kekarantina kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.
“Kita juga punya UU No.4 /1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dimana juga dalam Pasal 14 ayat (1) mengatur barang siapa dengan menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah diancam pidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp1 juta,” papar Guruh.
Dalam kasus Wali Kota yang menerima vaksin padahal dalam juknis kemenkes RI tidak masuk prioritas karena sudah pernah jadi pengidap, maka telah terjadi penyalahgunaan kewenangan. Namun berhubung bukan dalam skala besar, maka tidak bisa diberlakukan pasal UU tersebut di atas. “Yang pernah terkena Covid menurut para ahli kesehatan tubuhnya sudah membentuk antibodi jadi tidak perlu lagi. Kecuali kalau pura-pura kena Covid saja dulu,” pungkas Guruh sambil tersenyum. dre