PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM-Perjuangan Kartini di masa lalu bisa dikatakan berhasil bagi kaum wanita masa kini. Emansipasi wanita dan kesetaraan gender yang diperjuangkan, menghasilkan wanita-wanita tangguh. Punya pekerjaan, aktivitas dan hak yang sama layaknya seorang laki-laki. Bedanya, perjuangan yang dilalui sejumlah Kartini masa kini, demi keluarga dan ekonomi maupun kesejahteraan yang lebih baik.
Kini kaum wanita tidak lagi hanya sebagai pekerja di dapur. Hampir semua profesi dilakoni, termasuk juga pekerja lapangan yang membutuhkan stamina maupun mental yang kuat. Tidak sedikit di antaranya mau bekerja keras bahkan “terpaksa” seperti itu, demi nafkah maupun keluarganya.
Salah satunya, Sriyatmi, yang bekerja sebagai operator Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kota Palangka Raya. Sejak 2011, wanita tersebut rela bekerja siang dan malam sesuai jadwal, demi menafkahi kedua anaknya.
“Anak saya 2, jadi harus saya nafkahi dengan tanggung jawab melalui pekerjaan ini. Mau tidak mau, karena ini demi keluarga juga,” ujarnya kepada Tabengan ketika dibincangi di salah satu SPBU di Jalan S Parman Kota Palangka Raya, Rabu (21/4/2021).
Dia mengakui ada suka dan dukanya juga, ketika harus bekerja sebagai operator pengisian SPBU tersebut. Misalnya, ketika bekerja bersama dengan rekan-rekan sejawat yang mampu menambah semangat bagi dirinya ketika lelah.
Dukanya, ketika ia mesti berhadapan dengan kondisi tubuh yang tidak fit atau lagi sakit, wanita paruh baya itu terpaksa tetap harus bekerja demi membenahi ekonomi keluarga, khususnya kedua anaknya. Namun secara keseluruhan, Sriyatmi mengaku tidak keberatan, bahkan tetap bersemangat bekerja sebagai operator SPBU.
Wanita tangguh lainnya adalah Siti. Dia terpaksa turun ke jalan bekerja di bawah terik matahari, demi memperbaiki perekonomian diri dan keluarga. Siti ini punya profesi sebagai badut jalanan, yang kerap dijumpai di persimpangan lampu merah maupun sudut-sudut jalan di Kota Cantik Palangka Raya. Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan ekonominya sebagai seorang pedagang kue di Banjarmasin, Kalsel.
Akibatnya, wanita tersebut mau tidak mau berangkat ke Palangka Raya dan mencari peruntungan lewat profesi badut jalanan.
“Saya dari pukul 09.00-12.00 WIB biasa mangkal di pasar, kemudian dari pukul 14.00-17.00 WIB saya di Pelabuhan lama, terkadang juga di pinggir jalan. Ya, di mana kaki saya melangkah di situ saya membadut,” ujarnya sembari mengelap keringat.
Dia juga mengakui, memakai kostum badut sangat gerah. Namun, kalau sering digunakan, nanti akan biasa-biasa saja. Terkait profesi yang digelutinya, Siti mengaku tidak akan selamanya menjadi badut jalanan. Ketika sudah mengumpulkan uang yang banyak, barulah dirinya akan kembali ke Banjarmasin untuk kembali berdagang kue dan memperbaiki ekonomi keluarga. drn