PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM– Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) H Sugianto Sabran mengeluarkan perintah akan ada razia pada warganya yang belum mengikuti vaksinasi Covid-19. Hal tersebut mendapat reaksi keras dari praktisi hukum di Kalteng.
“Pemaksaan pelaksanaan razia tanpa aturan terlebih dahulu, jelas itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilindungi atau dijamin oleh negara,” tanggap Suriansyah Halim, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Penegak Hukum Republik Indonesia, Senin (21/6/2021).
Dia berpendapat, jika gubernur tetap melaksanakan razia tanpa ada dasar hukum atau aturan tertulis terlebih dulu, maka jelas gubernur akan melakukan perbuatan melawan hukum.
Halim menyatakan, Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), jelas bahwa semua kebijakan atau keputusan sebelumnya harus didasarkan kepada hukum tertulis, bukan kemauan penguasaan yang berkuasa saja.
“Untuk rencana dilakukan razia bagi yang belum vaksin adalah terlalu berlebihan jika langsung dilaksanakan. Seharusnya dibuat dulu aturannya baru pelaksanaannya,” kata Ketua DPC Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Palangka Raya itu.
Tetapi nanti jika memang gubernur mau membuat peraturan daerah (perda), tentu wajib melibatkan semua yang berkompeten, seperti dokter yang memang membidangi hal tersebut.
“Jangan hanya memikirkan sekarang wajib vaksin, tetapi negara wajib juga memikirkan dampak panjang setelah vaksin, terkhususnya orang dengan penyakit bawaan tertentu, dan lain-lainnya, yang dokter lebih mengerti dampak setelah vaksin atau untuk jangka panjangnya,” papar Halim.
Bila gubernur tetap memaksakan membuat perda tanpa kajian yang seharusnya diatur terlebih dahulu oleh peraturan perundang-undangan, maka gubernur wajib bertanggung jawab jika memang akibat perda tersebut ada yang merasa dirugikan, seperti gangguan kesehatan setelah vaksin.
Sebaiknya bupati dan wali kota di wilayah Kalteng tidak perlu terburu-buru langsung menyusun perda terkait razia vaksin tersebut. Karena perda, peraturan gubernur, peraturan wali kota, dan peraturan bupati tentu seharusnya memiliki dasar hukum yang sah dan lebih tinggi terlebih dulu. Peraturan tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri dan peraturan lain di atasnya sebagai dasar hukum atau rujukan dan tentunya membuat kajian terlebih dulu terhadap masyarakat untuk kebudayaan atau kultur masyarakat setempat.
“Bupati dan wali kota itu dipilih oleh rakyat atau masyarakat di wilayah hukumnya, bukan dipilih oleh gubernurnya. Jelas bupati dan wali kota seharusnya lebih mengutamakan amanah yang telah diberikan oleh masyarakatnya,” pungkas Halim.
IDI: Warga Tak Bisa Dipaksa
Ketua Satgas Covid-19 Persatuan Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, pemerintah tidak bisa memaksakan seluruh warga untuk disuntik vaksin covid-19. Zubairi menyebut, program vaksinasi harus dengan persetujuan warga atau pasien.
Menurutnya warga harus konsen saat disuntik vaksin.
“Biasanya di kedokteran ada istilah konfidensialitas dan konsen. Konsen artinya setelah diberi penjelasan, maka pasien boleh memilih, mau disuntik atau tidak, mau disuntik atau tidak mau obat ini atau tidak,” kata Zubairi dalam sebuah diskusi virtual, Sabtu (19/12).
Ketua Satgas Covid-19 Persatuan Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, pemerintah tidak bisa memaksakan seluruh warga untuk disuntik vaksin covid-19. Zubairi menyebut, program vaksinasi harus dengan persetujuan warga atau pasien.
Menurutnya warga harus konsen saat disuntik vaksin.
“Biasanya di kedokteran ada istilah konfidensialitas dan konsen. Konsen artinya setelah diberi penjelasan, maka pasien boleh memilih, mau disuntik atau tidak, mau disuntik atau tidak mau obat ini atau tidak,” kata Zubairi dalam sebuah diskusi virtual.
Kendati begitu, menurut Zubairi, demi kepentingan publik, maka pemerintah harus mengupayakan agar sekitar 80 persen masyarakat Indonesia harus disuntik vaksin Covid-19. Ini perlu dilakukan agar terciptanya kekebalan komunal atau herd immunity.
“Kalau sudah sebagian besar kebal, maka virusnya tidak lagi menular kemana-mana, sehingga selesai masalahnya,” ujar dia.
“Saya lebih cenderung beri edukasi yang lebih baik dan benar oleh orang yang berwenang dan dihormati oleh yang bersangkutan,” ujarnya.
Senada, Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan pemerintah tidak bisa memaksakan program vaksin ketika situasinya belum jelas. Menurut Dicky, pemerintah perlu memetakan warga yang mau diberi vaksin, dan mana yang tidak.
Dicky juga menyatakan bahwa pemerintah perlu menyiapkan strategi komunikasi yang efektif sebelum memulai program vaksin. Terlebih, di Indonesia masih banyak warga yang menolak vaksin karena lebih mempercayai dengan teori konspirasi.
WHO: Tidak Boleh Dipaksa Divaksin
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan semua negara untuk tidak melakukan pemaksaan vaksinasi. WHO menentang pemaksaan ini dan menyebut tidak setuju dengan peraturan negara yang mewajibkan warga negaranya untuk disuntik vaksin Covid-19.
Menurut WHO, kebijakan ini justru hanya membuat masyarakat semakin antipati dengan vaksin Covid-19.
“Saya tidak yakin bahwa mandat-mandat bukan arah kebijakan yang tepat di sini, khususnya bagi vaksin,” kata Direktur Departemen Imunisasi WHO, Kate O’Brien, dilansir dari Reuters,.
WHO menyarankan pemerintah agar memberikan sosialisasi, menyajikan data dan memberikan gambaran manfaat vaksin kepada warga.
Setelah itu, biarkan warga yang menentukan apakah mau divaksin atau tidak, bukan dengan cara dipaksa. Pemaksaan adalah cara yang kurang tepat dalam mempromosikan vaksinasi.
“Akan lebih baik untuk mendorong dan memfasilitasi vaksinasi tanpa persyaratan semacam itu. Saya tidak berpikir kami ingin melihat ada negara yang mewajibkan vaksinasi,” ucapnya.
Presiden terpilih AS, Joe Biden juga tidak mewajibkan warga AS untuk disuntik vaksin Covid-19. Sementara itu, di Indonesia semua warga diwajibkan untuk divaksin.ist/dre