OLEH
Novia Adventy Juran
(Founder Forum Pemuda Kalteng)
Putusan Hakim satu tahun penjara serta denda Rp50.000.000. kepada Petani bernama Antonius asal Desa Kamawen, Kecamatan Montallat, Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah, yang dituduh telah membakar lahan merupakan potret buram peradilan Indonesia sebagai negara Hukum. Pada awal kemerdekaan para pendiri bangsa ini telah menyepakati bentuk negara yaitu negara yang berdasarkan pada hukum (rechstaat).
Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum yang dimaksud adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, dimana hukum tidak dimaknai sebagai ilmu positivistik belaka akan tetapi lebih pada ilmu tentang kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Realitas kontekstual yang terjadi dalam peradilan Indonesia secara khusus dalam kasus Peladang Dayak Antonius menunjukkan kepada kita bahwa pemahaman holistik terhadap hukum dewasa ini sudah keluar dari jalur cita-cita pendirian bangsa. Kasus Antonius dan berbagai kasus kriminalisasi Peladang Dayak lainnya telah menciderai rasa keadilan dan menjadi potret buram penegakan hukum peradilan kita.
Esensi Hukum bukanlah suatu hal yang mati akan tetapi hukum selalu bergerak dinamis dan mengikuti perkembangan zaman serta melihat realitas kontekstual masyarakat. Kasus-kasus seperti Antonius, perjuangan masyarakat Adat Laman Kinipan adalah contoh kecil dari liarnya penegakan hukum berparadigma positivistik legalistik tanpa ada yang bisa mengendalikan bahkan pemikiran positivistik legalistik ini telah mengakar pada hakim sebagai aparat pemutus pada peradilan. Sehingga perlu dilakukan upaya penegakan hukum progresif dan dibarengi dengan pembenahan sistem hukum pidana baik dalam segi substansi, struktur maupun budaya hukum.
Putusan Kasasi oleh Pengadilan Tinggi Palangka Raya pada tanggal 8 September 2021 yang menolak permohonan kasasi Antonius bertentangan terhadap komitmen pemerintah yang selama ini digaungkan untuk menghormati terutama memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat serta hak-hak tradisional nya. Seperti tertuang di pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”