PALANGKA RAYA/tabengan.co.id– Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kalimantan Tengah (DDKT) Thoeseng TT Asang, memberikan penjelasan terkait dengan penolakan atas kehadiran Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) di Kalimantan Tengah (Kalteng). Ada sejumlah alasan mendasar yang perlu dipahami bersama terkait dengan TBBR ini.
Pertama, kata Thoeseng, harus diketahui secara pasti keberadaan TBBR ini sebagai ormas. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) TBBR ini sendiri seperti apa. Ormas ini apakah pelestarian budaya, atau pendampingan masyarakat. Apabila memang ormas ini adalah pelestarian budaya, ada sejumlah hal yang memang tidak cocok bagi masyarakat Kalteng.
Misalnya, kata Thoeseng, di Kalteng tidak ada seni budaya yang memamerkan ilmu kekebalan. Hal seperti inilah yang tidak cocok dengan seni dan budaya di Kalteng. Apabila memang ingin memamerkan seni ilmu kekebalan itu, lakukan untuk kalangan sendiri saja. Atau, apabila ingin memamerkannya kepada publik, buatkan sebuah panggung khusus dalam sebuah even.
“Hal lain yang saya tidak setuju, keberadaan ormas ini ketika dibentuk di Kalteng membawa budaya Kanayan, tapi pengurusnya orang Kalteng. Hal ini tidak sesusai, karena akan berdampak pada pelestarian budaya Kalteng sendiri. Akhirnya, generasi muda di Kalteng tidak mencintai budayanya sendiri,” kata Thoeseng, saat menjelaskan mengapa seni budaya yang dibawa TBBR di Kalteng ditolak, Minggu (28/11) di Palangka Raya.
Thoeseng menegaskan, semua anak suku Dayak tentu akan sangat setuju dengan bahasa Dayak Bersatu. Hanya saja, Dayak Bersatu ini tentunya tidak semua kategori. Misalnya Dayak Bersatu untuk NKRI, tentu akan sangat setuju, atau Dayak Bersatu untuk kesejahteraan masyarakat, tentu akan sangat didukung. Penolakan itu muncul, ketika seni budaya dari luar dipaksakan masuk ke Kalteng.
Thoeseng mencontohkan, di Indonesia ini ada bermacam-macam agama. Semua agama tentu sepakat, bersatu, dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertanyaannya, apakah agama A akan setuju, ketika agama B memaksakan agamanya kepada agama A. Tentu yang terjadi adalah penolakan.
Inilah, kata Thoeseng, yang terjadi di Kalteng. TBBR memaksakan budaya Kanayan untuk dilaksanakan di Kalteng, tentu suku Dayak di Kalteng akan menolak itu. Setiap suku Dayak tentuny memiliki keunikan, ciri khas, dan juga keistimewaan masing-masing. Tidak bisa, budaya suku dayak A, memaksakan budayanya kepada suku Dayak yang lain. Ini bukan bicara suku dayak melawan suku dayak, ini lebih kepada masalah budaya yang dibawa oleh TBBR itu sendiri.
Thoeseng menyarankan, Jillah untuk dapat lebih mendalami seperti apa budaya di Kalteng. Pahami seperti apa seni dan budaya yang ada di Kalteng. Tidai itu saja, Jillah juga seharusnya sebagai tamu untuk dapat silaturahmi apabila berada di Kalteng. Apabila memang menurut Jillah, tidak selevel dengan ketua ormas untuk silaturahmi, maka dapat berkomunikasi dengan Dewan Adat Dayak (DAD) untuk difasilitasi.
Thoeseng meminta, Jillah untuk dapat belajar, dan introspeksi diri dulu. Apa yang menjadi alasan penolakan, seharusnya dapat menjadi bahan evaluasi. Kaji, mengapa TBBR ini tiba-tiba mendapatkan penolakan dari masyarakat Kalteng.
“Kembali, saya tetap tidak akan terima apabila Jillah datang dengan membawa doktrinnya, membuat masyarakat di Kalteng akan memahami itu dengan serampangan. Doktrin yang dipaksakan untuk dapat diterima oleh masyarakat tentu akan mendapatkan penolakan. Apabila yang dilakukan Jillah hanya sebatas sosialisasi, ataupun menggelar seni pertunjukan, silakan, bahkan akan kita berikan panggung,” kata Thoeseng lagi.
Juga yang perlu kejelasan, kata Thoeseng, TBBR ini apakah pelestarian atau pendampingan. Sebab, selama ini yang terlihat adalah pendampingan. Apabila pendampingan, maka wajib pula bagi TBBR untuk belajar masalah hukum, khususnya hukum adat yakni hukum adat di Kalteng. Budaya yang dibawa akan menjadi masalah, ketika tujuan ormas menjadi tidak jelas.ded