PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM– Kasus dugaan penghinaan yang dilakukan Edy Mulyadi dkk melalui platform media sosial dengan menyebut Kalimantan sebagai “tempat jin buang anak”, terus menuai reaksi masyarakat, tanpa terkecuali pengamat hukum di Bumi Tambun Bungai.
Salah satunya dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (FH UPR) Dr H Suriansyah Murhaini SH MH. Dia menegaskan, kasus penghinaan tersebut harus tetap berlanjut sesuai dengan ketentuan hukum positif di Indonesia, serta hukum adat Dayak di Kalimantan.
“Statement yang dilontarkan oleh Edy Mulyadi beserta rekan-rekannya sudah meresahkan, mengganggu stabilitas dan keharmonisan yang ada di Kalimantan. Apalagi statement tersebut bersifat SARA dan rasis terhadap masyarakat Suku Dayak, sehingga aparat penegak hukum wajib melaksanakan proses hukum sesuai ketentuan yang berlaku, di samping hukum adat tetap berjalan,” ucap Suriansyah, dibincangi Tabengan di Kampus FH UPR, Kamis (27/1).
Ketua Kerukunan Adat Dayak Bakumpai ini juga menegaskan, berdasarkan analisis hukum sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Edy Mulyadi berpotensi terjerat Pasal 156 KUHP UU Nomor 1 Tahun 1946 terkait tindak pidana kebencian atau permusuhan individu dan/atau antargolongan (SARA/rasisme).
Dalam Pasal 156 KUHP disebutkan, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.
“Yang dikatakan golongan dalam pasal tersebut ialah tiap-tiap bagian dari penduduk Negara Indonesia, yang berbedaan dengan sesuatu atau beberapa bahagian dari penduduk itu lantaran bangsanya atau keadaan hukum negaranya,” ujar Suriansyah.
Kendati demikian, lanjut Suriansyah, pernyataan Edy Mulyadi yang tersebar melalui platform media sosial juga berpotensi masuk tindak pidana penyebaran berita bohong (hoaks). Dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP, Tindak Pidana Penghinaan/Ujaran Kebencian /Hatespeech (melalui media elektronik) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 a ayat 2 dan Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE.
“Intinya, Edy Mulyadi berpotensi terjerat pasal berlapis dari segi hukum positif yaitu KUHP dan UU ITE. Proses hukum harus tetap berjalan agar hal seperti ini tidak kembali terjadi, apalagi semua yang dilontarkan oleh Edy Mulyadi sudah menyakiti hati seluruh masyarakat Kalimantan,” tegasnya.
Selain terjerat hukum positif, Edy Mulyadi juga terjerat hukum adat Dayak. Implementasi hukum adat tersebut dilihat berdasarkan 96 pasal yang tertuang dalam Perjanjian Tumbang Anoi tahun 1892.
“Hukum adat juga harus tetap berjalan, hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan hukum adat Dayak di Kalimantan masih berlaku sampai saat ini. Melalui sidang adat nantinya akan ditentukan seberapa berat kesalahan Edy Mulyadi dan dikenakan singer (denda adat). Setelah itu akan diakhiri dengan upacara adat,” pungkasnya. nvd