PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM– Ujaran kebencian terhadap masyarakat Kalimantan kembali terjadi. Belum reda kasus Edy Mulyadi yang menyebut Kalimantan “Tempat Jin Buang Anak”, kali ini muncul dugaan penghinaan yang dilakukan Nicho Silalahi. Dugaan penghinaan yang dilakukan Nicho Silalahi disampaikan melalui akun Twitter @Nicho_Silalahi pada 27 Januari 2022.
“Saat Hutan ditebang, banjir merendam rumah warga ± sebulan, perempuannya dijual ke China untuk dijadikan budak seks, anak-anak pada mati tenggelam di bekas galian tambang kalian pada diam,” tulis Nicho Silalahi.
Kontan, cuitan yang dinilai menghina masyarakat Dayak khususnya kaum perempuan suku Dayak, mendapat respons keras dari sejumlah kalangan, di antaranya Aliansi Masyarakat Nansarunai Bela Borneo (AMNBB).
Reaksi keras disampaikan langsung Ketua Umum AMNBB Barito Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng) Hengky A Garu. Apa yang ditulis itu jelas menghina dan merendahkan suku bangsa Dayak, khususnya perempuan Dayak. Hal ini tidak bisa diterima dan menuntut pihak kepolisian untuk dapat memanggil dan menangkap Nicho Silalahi yang sudah merendahkan suku Dayak.
“Mengutuk keras dan meminta pihak berwajib memanggil dan menangkap Nicho Silalahi. Nicho dianggap telah melakukan penghinaan secara sadar dan mempunyai niat memperkeruh situasi, setelah pernyataan Edy Mulyadi dan kawan-kawannya,” kata Hengky, dalam keterangan pers berupa pernyataan sikap AMNBB atas dugaan penghinaan dan ujaran kebencian yang dilakukan Nicho Silalahi, Kamis (3/2).
Senada dengan Hengky, Wakil Ketua AMNBB Harisatriano menegaskan, pernyataan Nicho Silalahi tersebut telah dibahas bersama Dewan Adat Dayak (DAD) pada pertemuan Forum Dayak Bersatu di Balikpapan, 31 Januari 2022.
Nicho Silalahi harus diproses secara hukum positif dan hukum adat Dayak, yang akan ditentukan oleh Ketua Adat Dayak. Adapun pihak Dayak Maanyan, selaku penerus Keluarga Adat Besar Nansarunai, menyatakan kesediaannya untuk melakukan sidang adat tersebut.
“Pada abad ke-14, perempuan atau bawi Dayak telah memiliki peran, dan sejarah panjang menjadi Sangga Buana atau tiang pokok, dalam keluarga adat besar Nansarunai. Sebut saja Dara Gangsa Tulen yang berjuang bersama suaminya Datu Tatuyan melawan serangan Marajampahit,” tutur Harisatriano.
Harisatriano menegaskan, pada abad ke-21, bawi Dayak telah bermartabat sama dengan laki-laki, dapat menjadi pemimpin, sanggup melepas sub-ordinat dalam adat, dan dengan kepandaiannya juga dapat berkarier di luar rumah. Pernyataan Nicho Silalahi itu sangat tidak berdasar, tapi justru sangat tendensius, memicu perpecahan antarsuku bangsa dan sangat diskriminatif pada perempuan.
Aktivis yang juga Koordinator Ke-15 AMNBB sekaligus Ketua DPW Seknas Jokowi Kalimantan Selatan (Kalsel) Sri Naida menegaskan, siap untuk melaporkan Nicho Silalahi ke Polda Kalteng dan Polda Kalsel. Penyebutan “perempuannya dijual ke China untuk dijadikan budak seks” sudah melanggar HAM terhadap perempuan, sangat bias dan melecehkan perempuan.
Sri Naida mengingatkan, Indonesia sudah meratifikasi International Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (ICEDAW), dalam UU UU RI No 7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
“Kami setuju hastag #TangkapNichoSilalahi, dan menyerukan agar Mabes Polri segera menangkap Nicho Silalahi. Meminta maaf secara terbuka, dan segera lakukan hukum adat pada Nicho. Bahkan, kalau perlu tangannya diberi getaran maut, agar tak mudah menuliskan status melecehkan siapa saja, apalagi perempuan,” kata Sri Naida.
Garis besar pernyataan AMNBB adalah mengecam keras pernyataan Nicho Silalahi, karena dengan sengaja melakukan penghinaan, dan merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan suku Dayak. Apa yang sudah dilakukan Nicho Silalahi itu, jelas melukai hati dan perasaaan suku Dayak, dan dapat memicu keresahan.
Menuntut pihak kepolisian untuk segera menangkap Nicho Silalahi selama 3×24 jam, sejak pernyataan sikap ini disampaikan. Tidak hanya hukum positif, Nicho Silalahi juga dituntut untuk meminta maaf secara terbuka, dan menjalani sidang adat. Terakhir, meminta masyarakat untuk tetap tenang, dan menahan diri. Biarkan proses hukum terus berjalan. ded