FOOD ESTATE SINGKONG-Gagal, Langgar Aturan, Berpotensi Rugikan Negara

Foto/antara LANGGARAN ATURAN-Foto udara areal lumbung pangan nasional 'food estate' komoditas singkong di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Sabtu (6/3/2021). Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran sebesar Rp1,422 triliun atau sebesar 9,4 persen dari total anggaran 2021 untuk mendukung program pengembangan food estate yang berada di tiga kabupaten di Kalteng, yaitu Gunung Mas, Pulang Pisau, dan Kapuas. Sedikitnya 30 ribu hektare (ha) lahan food estate ditargetkan akan ditanami bibit singkong pada 2021. Singkong diharapkan menjadi komoditas andalan dalam program lumbung pangan pemerintah tersebut.

Walhi: Kemana Pohon-pohon yang Ditebang itu?

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Kalimantan Tengah menjadi salah satu yang digadang-gadang sebagai lokasi untuk dijadikan lumbung pangan oleh pemerintah pusat. Lumbung pangan yang dikenal dengan nama Food Estate ini terdapat sejumlah komoditi. Mulai dari padi, jagung, sampai singkong. Namun, proyek Food Estate ini mendapatkan ragam komentar, bahkan penolakan.

Penolakan Food Estate yang terus disuarakan adalah Food Estate singkong yang terdapat di Kabupaten Gunung Mas.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng berkali-kali menentang program Food Estate singkong ini karena membuka kawasan hutan, yang membuat tutupan hutan menjadi berkurang.

Walhi Kalteng juga pernah melakukan investigasi di lahan Food Estate singkong ini, dan mendapatkan sejumlah temuan. Namun, temuan Walhi Kalteng justru dibantah oleh pemerintah dengan menyebutkan bahwa apa yang ditemukan itu tidak benar.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengatakan, inisiasi proyek ini sangat tidak jelas dan tidak relevan dengan kondisi pada saat itu, yaitu tahun 2020. Latar belakang pencanangan proyek Food Estate di Kalteng adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah menjawab proyeksi bahwa akan ada potensi krisis pangan yang terjadi di dunia, dan Indonesia secara khusus akibat pandemi Covid-19.

Bayu menjelaskan, dibangunnya pertanian pangan dengan skala luas di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, dengan komoditas padi. Faktanya proyek tersebut tidak menjawab kebutuhan ketahanan, dan pemenuhan pangan masyarakat di lokasi maupun yang lebih luas.

Apa yang terjadi di lapangan malah mengacaukan sistem, dan pola pertanian yang sudah dilakukan oleh masyarakat di desa-desa. Juga berdampak pada hasil produksi yang menurun, dan berdampak terhadap lingkungan atau ekosistem gambut yang dijadikan lokasi proyek Food Estate ini.

Kemudian, lanjut Bayu, pada waktu yang tidak berselang lama muncul lagi inisiasi pencanangan pembangunan Food Estate oleh Kementerian Pertahanan, dengan komoditas singkong. Alasan awal adalah untuk menambah atau diversifikasi pemenuhan pangan karbohidrat, selain dari padi atau beras.

“Lokasi proyek ini dilakukan di Kabupaten Gunung Mas, yang mana fakta di lapangan dan kondisi saat ini hal tersebut tidak berjalan maksimal. Hasil monitoring yang kami laksanakan, proyek tersebut dapat dikatakan gagal. Pernyataan ‘gagal’ ini bukan hanya dari kami, tapi juga dari pendapat warga desa, yang wilayahnya masuk dalam proyek Food Estate singkong ini,” kata Bayu, merespons gagalnya program Food Estate singkong di Kabupaten Gunung Mas, Kamis (1/9).

Bayu menguraikan, kegagalan dimulai dari proses pembukaan lahan yang tidak sesuai aturan, membuka kawasan hutan yang masih baik kondisi tutupan hutannya. Kemudian proses penanaman bibit yang tidak dilakukan di seluruh lahan yang sudah dibuka. Kondisi tanaman yang tidak tumbuh baik, karena ditanam di atas lahan berpasir, sehingga hasilnya tidak sesuai harapan.

Bayu menambahkan, para pekerja dalam proyek ini yang tidak melibatkan masyarakat dari desa-desa di sekitar lokasi. Para pekerja didatangkan dari luar daerah, yang kemudian memilih untuk tidak meneruskan bekerja di lahan lokasi proyek karena tidak dibayarkan gajinya selama beberapa bulan terakhir.

Kondisi saat ini, tanaman singkong yang sesuai masa tanam seharusnya sudah dapat dipanen, tidak dapat dilakukan karena banyak yang tidak tumbuh, serta ketiadaan para pekerja di lahan.

Itu dari sisi proyek tersebut, kata Bayu. Sementara dari sisi lingkungan, penetapan kawasan hutan yang dijadikan lokasi Food Estate singkong ini tidak sesuai dengan peruntukan ruang dan terindikasi melabrak aturan yang lebih tinggi, seperti UU Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup.

Di sisi lain, pembukaan kawasan hutan yang juga berkontribusi terhadap deforestasi, kerusakan lingkungan, dan penurunan kualitas lingkungan. Dampaknya sudah dirasakan, yaitu kejadian bencana banjir yang terjadi beberapa waktu lalu di desa-desa sekitar lokasi Food Estate, dan beberapa daerah lain di bagian hilir dari lokasi Food Estate ini.

Terakhir, ungkap Bayu, aspek pembiayaan. Proyek ini jelas berdampak pada keuangan negara, yang pihaknya ketahui bahwa pembangunan lahan untuk proyek Food Estate ini mengambil alokasi dari APBN, dan jika dilihat dari kondisi saat ini yang bisa dikatakan gagal. Ada kerugian negara yang ditimbulkan.

Negara seharusnya bisa mendapatkan insentif atau pendapatan (PSDH/DR) yang dihasilkan dari pembukaan hutan, dan pohon-pohon yang ditebang di lokasi proyek. Tetapi karena ada kebijakan yang mengkhususkan proyek Food Estate ini, maka hal tersebut tidak dapat dilaksanakan. ded