+Sejarahnya Menjadi Ibukota Kalimantan Tengah
Pahandut!! Kempung kecil di pinggir Sungai Kahayan yang sekarang menjadi ibukota provinsi Kalimantan Tengah, yaitu Kota Palangka Raya. Kampung Pahandut dulunya adalah salah satu kampung tertua di daerah aliran sungai Kahayan bagian hilir, seperti halnya kampung Maliku, Pulang Pisau, Buntoi, Penda Alai dan Gohong.
Asal-usul Kampung Pahandut
Pada jaman dahulu (±18 M) di sebuah kampung yang berada di daerah aliran sungai Kahayan, yang bernama Lewu Rawi (kelak dikenal sebagai lewu Bukit Rawi), terdapat pasangan suami-isteri Bayuh dan Kambang. Konon dikisahkan bahwa karena keadaan tanah di Lewu Rawi tidak cocok untuk lahan bertani dan berkebun, membuat Bayuh dan Kambang memutuskan untuk mencari kawasan lain yang lebih subur.
Mereka kemudian “masuh” (mendayung perahu ke arah hilir) menyusuri Sungai Kahayan yang akhirnya menemukan sebuah tempat yang subur untuk bertani dan berkebun serta hasil hutan/alam yang melimpah, sehingga singkat cerita kehidupan mereka menjadi lebih baik. Kabar tentang tanah yang subur, serta perbaikan kehidupan kedua suami istri tersebut terdengar oleh warga masyarakat lewu Rawi yang lain sehingga banyak sanak keluarga yang berasal dari kampung tersebut bahkan bahkan warga dari kampung/desa lain mengikuti jejak Bayuh dan Kambang pindah ke daerah baru itu.
Akhirnya daerah baru tersebut kemudian berkembang menjadi tempat usaha, bertani dan berkebun lalu menjadi tempat permukiman. Dalam bahasa Dayak Ngaju hal yang demikian dinamakan “Eka Badukuh” atau tempat bermukim, para warga menyebutnya Dukuh ain Bayuh, singkatnya permukiman itu disebut Dukuh Bayuh. Demikian Dukuh Bayuh semakin lama semakin berkembang maju, karena ternyata daerah itu dan sekitarnya memiliki sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya antara lain lokasi pemungutan hasil hutan seperti damar, getah jelutung (pantung), getah hangkang, katiau, dan rotan serta perairan sungai yang kaya dengan berbagai jenis ikan terutama di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sebangau.
Sementara itu diceritakan bahwa terdapat seorang tokoh yang disegani oleh seluruh warga masyarakat Dukuh Bayuh karena mempunyai kelebihan yang sangat menonjol. Sang tokoh dianggap memiliki kesaktian dan ilmu serta oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai “orang pintar”. Masyarakat Dukuh Bayuh bahkan masyarakat dari daerah lain sering minta pertolongan pada sang tokoh tentang berbagai hal. Sang Tokoh tersebut mempunyai anak-sulung laki-laki yang bernama Handut, dan sesuai adat orang Dayak Ngaju yang menganut “Teknonimi”, yaitu pemberian nama kepada ayah atau ibu berdasarkan nama anaknya, maka tokoh Desa Bayuh yang “berilmu’ itu sangat akrab disapa Bapa Handut atau Pa Handut.
Ketika usianya sudah lanjut, Bapa Handut sering sakit-sakitan, dan ketika keadaan sakitnya sudah parah nampaknya sulit menghembuskan nafas terakhir. Warga Desa Bayuh merasa cemas dan prihatin atas penderitaan sang tokoh yang mereka hormati. Akhirnya kehendak Tuhan pun terjadi dan wafatlah Bapa Handut diiringi kesedihan dan isak tangis seluruh warga. Tokoh yang dihormati dan disegani telah tiada.
Ngabe Anom Soekah lahir tahun 1829, di kampung Pahandut. Ayahnya bernama Bayuh, dan ibunya bernama Kambang. Orangtua Ngabe Anom Soekah berasal dari Lewu (kampung) Bukit Rawi. Dulu dikenal sebagai Lewu Barah. Kampung ini pinggiran Sungai Kahayan. Ayahnya asli orang Bukit Rawi, sedangkan istrinya berasal dari Lewu Kanamit atau Pulau Telo (Kapuas)
Disebut lewu Barah karena tempat itu berpasir sehingga terasa panas didiami. Barah adalah kata benda dalam Bahasa Ngaju yang berarti bara. Barah umumnya berasal dari kayu-kayu yang dibakar. Dulu, warga Bukit Rawi tinggal di lewu Barah, kemudian mereka pindah ke area yang tanahnya bagus dan baik untuk berladang. Dikarenakan orang-orang berladang di sana banyak, tempat itu menjadi rami atau rawi, sehingga disebut Bukit Rawi. Bukit Rawi berarti bukit yang ramai (untuk berladang).
Desa Bukit Rawi terletak di Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau. Kawasan ini berjarak sekitar 21 kilometer dari Kota Palangka Raya. Karena lewu Bukit Rawi dulu dikenal dengan lewu Barah, maka temenggung yang memimpin Bukit Rawi dikenal sebagai Tamanggung Bukit Rawi atau Tamanggung Lawak Barah[1] atau Toemenggoeng Soera Djaja.[2]
Guna mengenang dan menghormati sang tokoh yang sangat berpengaruh tersebut, semua warga masyarakat setuju Desa Bayuh diubah namanya menjadi Desa PAHANDUT (yang berasal dari kata Bapa Handut – panggilan akrab Sang Tokoh). Siapa nama asli Sang Tokoh itu, ternyata orang keturunan “asli” desa Pahandut tidak dapat memberi jawaban.
Dalam arsip Pemerintah Hindia Belanda nama Desa Pahandut tercatat dalam laporan Zacharias Hartman, seorang pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang melakukan perjalanan menyusuri Sungai Kahayan dan Sungai Kapuas pada Bulan Oktober 1823. Dalam laporan perjalanannya, Orang Belanda pertama yang langsung menginjakkan kaki pada DAS Kahayan dan Kapuas tersebut menyebutkan Desa Pahandut sebagai salah satu desa yang dikunjungi.
Keberadaan Kampung Pahandut juga dilaporkan oleh para misionaris (para pengabar Injil) dari Jerman. Pada tahun 1859, Kampung Pahandut tercantum dalam peta yang dibuat para misionaris tersebut, dan Kampung Pahandut merupakan salah satu pangkalan (stasi) dari kegiatan penyebaran agama Kristen di sepanjang Sungai Kahayan. Laporan selanjutnya dari para misionaris menyebutkan bahwa pada tahun 1896, Misionar G.A. Alt bertugas di Stasi Pahandut, dan telah terbentuk jemaah Kristen dengan berdirinya bangunan gereja di Kampung itu. Letak bangunan gereja tersebut diperkirakan berada di Jalan Kalimantan sekarang. Pada tahun 1974, bangunan gereja yang terletak di tengah jalan tersebut, dibongkar untuk keperluan pembangunan dan pengaspalan jalan.
Dari notulen Rapat Perdamaian di Tumbang Anoi (tahun 1894) disebutkan bahwa di kampung Pahandut telah berdiri sebanyak delapan buah rumah panjang (betang – rumah adat suku Dayak). Jika satu rumah betang berisi lima keluarga, maka paling sedikit Kampung Pahandut pada waktu itu telah dihuni oleh empat puluh keluarga. Itu berarti, kampung itu sudah cukup ramai.
Sejarah Singkat terbentuknya Prov. Kalimantan Tengah dan terpilihnya Kampung Pahandut menjadi Ibukota.
Pada masa kemerdekaan, setelah terbentuknya Propinsi Administratif Kalimantan, maka sejak tahun 1952 telah muncul tuntutan dari rakyat di tiga Kabupaten, yaitu : Kapuas, Barito dan Kotawaringin, agar tiga kabupaten tersebut dibentuk menjadi Propinsi Otonom dengan nama Propinsi Kalimantan Tengah. Tuntutan yang demikian terus menggelora dan disampaikan baik kepada Pemerintah Daerah Kalimantan maupun kepada Pemerintah Pusat melalui jalur demokrasi oleh partai-partai politik dan organisasi kemasyarakatan.
Setelah melalui proses dramatis yang sempat menimbulkan perlawanan fisik yang menjurus kepada gerakan bersenjata atau yang lebih dikenal dengan Gerakan Mandau Talawang Pantjasila Sakti (GMTPS) serta didukung diplomasi politis berupa Kongres Rakyat Kalimantan Tengah yang terus-menerus mendesak pemerintah pusat, akhirnya pada tanggal 10 Desember 1956, Ketua Koordinasi Keamanan Daerah Kalimantan / Gubernur Kalimantan RTA. Milono menyampaikan pengumuman tentang terbentuknya Propinsi Kalimantan Tengah meliputi daerah-daerah Kabupaten Barito, Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Kotawaringin.
Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah R.T.A. Milono selanjutnya mengambil suatu kebijaksanaan membentuk Panitia untuk merumuskan dan mencari dimana daerah atau tempat yang pantas/wajar untuk dijadikan Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah. Panitia yang dibentuk pada tanggal 23 Januari 1957 terdiri dari :
1. Mahir Mahar (Ketua)
2. Tjilik Riwut (Anggota)
3. G. Obos (Anggota)
4. E. Kamis (Anggota)
5. C. Mihing (Anggota)
6. R. Moenasier (Penasihat Ahli)
7. Ir. D.A.W. van Der Pijl (Penasihat Ahli)
Sesudah Panitia mengadakan rapat-rapat serta menghubungi tokoh-tokoh Kalimantan Tengah, serta para pejabat baik Militer maupun Sipil tingkat Kalimantan di Banjarmasin antara lain Kolonel Koesno Utomo (pada waktu itu adalah Panglima Tentara dan Teritorium VI/Tanjungpura), diperoleh kesimpulan sementara : “Sekitar desa Pahandut, di kampung Bukit Jekan dan sekitar Bukit Tangkiling ditetapkan untuk calon ibukota Propinsi Kalimantan Tengah”.
Masyarakat Kampung Pahandut menyambut dengan antusias rencana tersebut dengan membuat Pernyataan yang menyatakan kegembiraan dan terima kasih yang tidak terhingga atas rencana Pemerintah tersebut. Pernyataan tersebut dibuat dan ditandatangani pada tanggal 30 Januari 1957 oleh tokoh / pemuka adat Kampung Pahandut, yaitu :
1. Abd. Inin
2. St. Rasad
3. H. Tundjan
4. Buntit Soekah
5. Dinan Gani
6. J. Rasan
7. Tueng Kaling
Demikianlah kurang lebih 4 bulan kemudian, dengan didahului upacara adat dari suku dayak yang bertempat di lapangan Bukit Ngalangkang, Pahandut pada tanggal 18 Mei 1957 diumumkanlah nama ibukota Propinsi Kalimantan Tengah. Gubernur RTA. Milono dalam pidatonya antara lain mengemukakan cita-cita beliau bahwa untuk memberi nama Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah harus disesuaikan dengan jiwa pembangunan dan tujuan suci. maka yang dipilih adalah KAMPUNG PAHANDUT dengan nama PALANGKA RAYA.
Diambil dari Laman Sangkay City Blok/Perjalanan di Tanah Dayak-info itah