PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID– Setelah waktu yang lama, akhirnya kelompok Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rungan di Kabupaten Gunung Mas (Gumas) mendapat pengakuan resmi dari negara. Masyarakat adat yang memperjuangkan hutan adatnya kini bisa merasa lega, setelah usaha mereka akhirnya membuahkan hasil.
Pengakuan ini diharapkan akan membuka jalan bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk memberikan dukungan pada masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat.
Proses pengakuan MHA Rungan harus dilalui dengan mengajukan surat usulan kepada kepala daerah, diketahui damang setempat. Surat pertanggungjawaban tersebut merupakan hasil kesepakatan dan disusun dalam bentuk berita acara kesepakatan.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi pengajuan MHA, di antaranya sejarah MHA, bentuk pemerintahan adat, wilayah adat, dokumen hukum adat, harta kekayaan, termasuk sumber daya alam, simbol adat, kesenian dan daerah sakral.
Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor SK.7924/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL. 1/8/2023 tentang Penetapan Status Hutan Adat Dalam Wilayah MHA Rungan seluas 5.400 hektare, terdiri dari Kelurahan Mungku Baru, Kecamatan Rakumpit, Kota Palangka Raya dan Desa Parempei, Desa Bereng Malaka, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gumas, Kalimantan Tengah (Kalteng).
Ketua MHA Rungan Hermanto mengatakan, mereka telah memperjuangkan pengakuan atas MHA Rungan sejak tahun 2016-2017. Sebelumnya, MHA Rungan masih sebatas pengurus adat hingga di tingkat kelurahan.
“Kini, setelah diakui negara, MHA Rungan telah menjadi lembaga yang memiliki legalitas beserta detail hutan adatnya,” kata Hermanto saat ditemui wartawan usai menghadiri penyerahan salinan SK MHA Rungan dari Pemprov Kalteng di Kantor Gubernur Kalteng, Senin (13/11).
MHA sendiri didapatkan melalui SK Gubernur Kalteng dan untuk teknis hutan adatnya sendiri disahkan KLHK. Hermanto menyebut, awalnya pihaknya memasuki dari hutan adat yang termasuk wilayah Kota Palangka Raya.
“Tetapi dari desa tetangga yang terletak di wilayah Gumas, yakni Desa Parempei dan Desa Bereng Malaka, yang menginginkan untuk bergabung juga menjadi satu kesatuan dalam MHA Rungan,” ucapnya.
Kelurahan Mungku Baru sendiri, lebih banyak mengurusi terkait hutan ulin. Terdapat kurang lebih 230 hektare hutan hamparan ulin dari KLHK yang ditetapkan menjadi zona lindung.
“Sehingga tidak bisa diganggu gugat. Hamparan hutan ulin itu berada di Hutan Tabalien. Hutan ulin itu tidak mungkin kami babat atau kami apa-apakan, mungkin kami cari mitra untuk pemanfaatan berkelanjutan di lingkup Hutan Tabalien itu,” tambahnya.
Sementara Desa Parempei dan Desa Bereng Malaka, menyimpan Kaleka Buleng dan Kaleka Siang. Ia menuturkan hutan adat yang akan pihaknya kelola lebih lanjut itu menyimpan banyak sekali potensi. Terutama untuk penemuan obat-obatan tradisional dan potensi ekowisata.
Ia berharap upaya mengelola hutan adat bisa dibantu pemerintah. Bantuan itu bisa dari pemerintah daerah dan lembaga-lembaga lainnya yang berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat adat.
Saat yang sama, Kepala Program Rungan dari Yayasan Borneo Nature Indonesia YB Anugrah Wicaksono menjelaskan, jauh sebelum diakui pemerintah pihaknya terus melakukan pendampingan untuk masyarakat di bentang alam Rungan.
BNF bekerja di satu bentang alam yang namanya Rungan-Kahayan, antara Sungai Rungan dan Sungai Kahayan. “Fokus dari kami terkait dengan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan,” jelasnya.
Salah satu tradisi unik yang ditemukan pihaknya, adanya suatu hutan adat yang dipercaya keramat masyarakat setempat, yakni Hutan Tabalien. Namun, sebelum akhirnya diakui oleh negara, hutan tersebut masih berstatus hutan negara dan hak kelolanya masuk kawasan konsesi PT Taiyoung Engreen.
Selanjutnya, pihak BNF berusaha membantu masyarakat setempat untuk menempuh mekanisme formal yang sudah disediakan negara, melalui pengakuan MHA.
Dalam proses pengakuan ia menjelaskan, terdapat lima komponen yang harus dipenuhi, seperti adat istiadat, hukum adat, pemerintahan adat, harta kekayaan termasuk pengetahuan adat serta wilayah adatnya. “Untuk menggali kelima komponen tersebut membutuhkan waktu yang lama dan berbagai tahapan,” jelas Anugrah.
Setelah proses pengakuan MHA berhasil, BNF tidak hanya berhenti sampai di tahap pengakuan. Mereka juga terus memberikan pendampingan dan bantuan kepada MHA Rungan dalam mengelola hutan dan lingkungan hidup di Tumbang Rungan.
“Melalui pendampingan tersebut, BNF membantu mengidentifikasi potensi-potensi hutan yang mereka kelola dan membantu dalam pengembangan destinasi ekowisata jika masyarakat setempat berkeinginan,” lanjutnya.
Proses pengakuan MHA adalah proses yang tidak mudah dan memerlukan waktu yang lama. Namun, dengan semangat dan kerja keras menjaga lingkungan hidup, MHA Rungan mampu mengelola hutan adat dengan baik dan berhasil mempertahankan keberadaan Hutan Tabalien.
Proses pengakuan MHA Rungan juga didukung regulasi di tingkat daerah, seperti Pergub Tata Cara Pengakuan MHA yang keluar pada tahun 2022. jev