PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Hasil Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 masih menyisakan cerita baru. Ada 2 babak baru yang muncul dampak dari Pemilu 2024, yakni rencana pengajuan hak angket ke DPR RI, dan juga wacana pemakzulan Presiden RI Joko Widodo.
Wacana tersebut, turut mendapatkan tanggapan dari Gubernur Kalteng Periode 2005-2015 Agustin Teras Narang (Terang). Tanggapan yang diberikan, kata Teras Narang, bertujuan untuk memberikan pemahaman yang tepat bagi masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng) khususnya.
Menurut Anggota DPD RI Dapil Kalteng ini, apa yang disampaikan dalam opini ini untuk dapat membuka pikiran seluruh masyarakat, sehingga dapat memberikan pemahaman, penyadar tahuan, dan juga pandangan bagi seluruh masyarakat, yang berguna untuk berkontribusi bagi perjalanan bangsa Indonesia kedepan.
Tokoh Kalteng ini menjelaskan, hal yang ingin disampaikan bagi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Kalteng, posisi Mahkamah Konstitusi (MK), dimana di dalamnya termasuk Komisi Yudisial, dulu dibangun untuk menjawab masalah penyelewengan hukum. Penyelewengan hukum yang kerap terjadi di zaman orde baru, khususnya pada pembentukan UU.
“Saya termasuk bagian di dalam upaya ini. Lewat pembangunan konstitusionalitas hukum atau Constitutionality of Law yang dulu kami perjuangkan di DPR RI/MPR RI. Kendati demikian, situasi hari ini agak berbeda dari harapan, dan cenderung menimbulkan keriuhan politik. Usul lewat hak angket, mesti dipahami dan dihargai karena itu adalah hak konstitusional di parlemen,” kata Teras Narang, saat menyampaikan pandangannya, Senin (26/2), via telepon.
Teras Narang berpesan, lebih jauh dari hak angket, seperti usulan interplasi hingga pemakzulan, mesti disikapi secara arif. Terlebih jalan ini tidak mudah dan murah, serta membutuhkan syarat yang rumit. Konstelasi politik juga berubah cepat, dengan pergeseran posisi dukungan partai-partai dan representasi mereka di fraksi.
“Saya mengurai paradigma konstitusi dan politik lewat opini ini. Harapan utamanya adalah, agar dapat menjadi terang, dan elit menimbang cermat dan tegak pada konstitusi dalam setiap pilihan politik mereka. Sementara itu, rakyat agar bersama, kembali guyub, dan menghindari benturan politik. Apa pun pilihan politik mereka,” tambah Teras Narang.
Teras Narang menjelaskan, Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang penuh drama, situasi politik berubah cepat. Setelah Pemilu 2024 digelar, situasi panas ternyata masih bertahan. Bahkan kian menjadi dengan kemenangan telak pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berdasarkan hitung cepat hasil Pilpres. Berbagai kejanggalan di tiap tahapan pemilu menggerakkan tudingan kecurangan.
Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) pesaing dalam kontestasi ini menyerukan hak angket sebagai jalan politik. Langkah ini disambut pula oleh capres lainnya, Anies Baswedan.
Wacana hak angket tentu saja wajar di alam demokrasi. Karena masalahnya politik, jalur politik tentu menjadi salah satu opsi. Sebagai orang yang diberi amanah membacakan kala itu, pendorong usul pembentukan MK dan Komisi Yudisial demi menegakkan ideologi konstitusi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan legislasi oleh pembentuk undang-undang (UU).
Menghadapi kondisi ini, kelompok masyarakat yang gerah kemudian mencoba melakukan koreksi, termasuk melalui jalur politik konstitusional, yakni menggunakan opsi hak interpelasi. Belakangan bahkan muncul usulan untuk dilayangkannya hak angket. Sebagian masyarakat sipil bahkan mewacanakan pemakzulan sebagai opsi akhir.
Secara umum, interpelasi sendiri merupakan hak DPR untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah secara politik. Hak ini adalah hak yang melekat pada DPR dan merupakan langkah politik yang lumrah di alam demokrasi. Karena terkait dengan putusan MK, langkah interpelasi tentu mendapat sorotan karena drama putusan itu terjadi di ranah yudikatif, bukan legislatif.
Sementara, hak angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pemerintah terkait pertanggungjawaban hukum. Hak angket bisa dipakai, jika interpelasi tak bisa ditempuh untuk meminta pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran hukum perundang-undangan yang dilakukan pemerintah.
Selanjutnya, terkait mekanisme, diatur di Pasal 199 bahwa usul itu mesti dapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari se- paruh jumlah anggota DPR yang hadir.
Dengan realitas politik hari ini, tentu saja upaya menjernihkan berbagai permasalahan pemilu lewat hak angket adalah dimungkinkan untuk dilakukan meski untuk mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR sangat bergantung pada konstelasi politik pasca-pemilu.
Jika dua kekuatan pendukung pasangan Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin solid, mereka memiliki 314 kursi, sementara pendukung Prabowo-Gibran 261 kursi, maka peluang menuju hak angket terbuka lebar. Namun, sekali lagi, semua ini juga tergantung soliditas anggota fraksi yang pada pasca Pemilu 2024 memiliki problem psikologis ketaatan tersendiri pada partainya.
Kondisi akan berbeda apabila jalan yang ditempuh adalah pemakzulan sebagaimana usulan sebagian pihak. Usul dari sebagian elemen masyarakat perlu ditelaah secara arif. Ini bukan pilihan yang tak mungkin dilakukan dalam menegakkan kembali wajah demokrasi yang dianggap tengah rusak. Hanya saja, ini adalah jalan berliku dengan banyak portal penting di setiap tikungannya.ded