PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Indonesia kaya akan keragaman budaya, dan hal ini juga terlihat pada ragam makanan tradisional yang dimiliki oleh setiap daerah. Di Kalimantan Tengah, suku Dayak memiliki salah satu tradisi sakral yang dinamakan malamang atau lemang.
Makanan ini terbuat dari beras ketan yang dibungkus daun pisang dan dibakar dalam ruas bambu bersama santan kelapa dan garam. Malamang memiliki filosofi yang diajarkan kepada masyarakat Dayak tentang betapa pentingnya kebersamaan dan kerja sama dalam kehidupan mereka.
“Artinya, setiap orang harus bekerja sama agar sesuatu hal yang dibutuhkan oleh masyarakat dapat terlaksana. Lambang apabila sudah matang maka akan bersatu, itulah makna yang terkandung dalam tradisi malamang,” kata Dewan Juri Lomba Malamang, Wawan Embang saat menjelaskan filosofi malamang, di GOR Serba Guna, Palangka Raya, Selasa (21/5).
Di Festival Budaya Isen Mulang (FBIM), sebuah festival budaya tahunan yang digelar di Kalteng, tradisi malamang tak hanya dilestarikan namun juga menjadi salah ajang lomba yang diikuti berbagai kabupaten yang ada di Kalteng.
“Lomba malamang tahun ini diikuti 11 kabupaten, di antaranya Barito Selatan, Murung Raya, Kabupaten Barito Utara, Pulang Pisau, Kapuas, Kotawaringin Barat, Barito Timur, Kotawaringin Timur, Lamandau, Sukamara, dan Palangka Raya,” ujarnya.
Dalam perlombaan tersebut, jelas Wawan, masing-masing peserta memasak malamang dengan teknik dan takaran bahan yang berbeda, serta dilengkapi dengan ritual khusus dari masing-masing daerah.
“Di samping itu, para peserta juga menunjang kreativitas dalam penyajian dengan membuat olahan makanan pendamping dan miniatur khas daerah masing-masing yang mempercantik tampilan,” tuturnya.
Perlombaan malamang ini mengharuskan setiap tim terdiri dari 5 orang, baik pria maupun wanita. Dari tahap persiapan hingga penyajian, waktu yang dibutuhkan minimal selama 6 jam.
Setiap orang dalam tim memiliki peran dan keahlian berbeda. Ada yang bertugas sebagai pengupas langsung pemarut kelapa, penyiap bahan pembuatan malamang, pembakar malamang, penata sajian dan pramumenu yang bertanggungjawab menjelaskan inti menu kepada juri.
Lomba malamang dijadikan ajang untuk menjaga kelestarian tradisi ini agar tidak punah dan semakin dikenal luas oleh masyarakat. Selain itu, Kalteng ingin mengenalkan keanekaragaman tradisi yang dimilikinya ke level nasional maupun internasional.
“Tradisi sakral malamang tidak hanya berisi budaya khas suku Dayak, namun juga menyangkut filosofi yang bisa membantu dalam menghargai nilai kebersamaan dan mendorong kerja sama antarinsan. Lomba malamang yang dilaksanakan di FBIM merupakan wujud konkret untuk melestarikan tradisi dan budaya lokal,” ungkapnya.
Semoga generasi muda sekarang ini dapat meneruskan warisan budaya dan tradisinya. Bisa terus memperlihatkan rasa hormat dan kecintaan pada tradisi tersebut agar dapat terjaga dengan baik di masa depan, imbuh Wawan. jef