+Penyiaran investigasi Dilarang, Merugikan Masyarakat
PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah disusun DPR RI, dinilai mengancam iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Sejumlah pasal multitafsir dan sangat berpotensi digunakan alat kekuasaan untuk membatasi kebebasan sipil dan partisipasi publik.
Pelarangan penayangan konten jurnalisme investigasi dinilai sangat berdampak bagi kondisi Kalteng. Sebab, kasus-kasus besar yang selama ini terjadi, khususnya yang berkaitan dengan skandal korporasi, banyak diungkap konten jurnalisme investigasi.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Lembaga bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya Sandi Jaya Prima Saragih, menyoroti substansi Pasal 50 B ayat (2) huruf c terkait larangan liputan investigasi jurnalistik bagi kondisi sosial yang di Kalimantan Tengah (Kalteng).
“Hal ini jelas merugikan masyarakat, sebab dalam lingkup untuk membongkar kejahatan perusakan lingkungan hidup dan paktik perizinan yang masih sangat jauh dari rasa adil, produk jumalistik kerap menjadi kanal alternatif untuk membongkar praktik kejahatan atau penyimpangan tindakan pejabat publik,” katanya, Sabtu (26/5).
Ia menerangkan, sebagai pilar keempat demokrasi, media ataupun jurnalis punya peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi, khususnya yang melibatkan masyarakat sebagai fungsi kontrol.
“Revisi UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang merupakan inisiatif DPR, bertolak belakang dengan semangat demokrasi dan menjadi polemik di masyarakat,” terangnya.
Draf naskah RUU per 24 Maret 2024 saat ini sedang berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, terkait Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI.
“Secara tersurat memuat ketentuan larangan liputan eksklusif investigasi jurnalistik. Rancangan tersebut tentu bermasalah dan patut ditolak karena bukan hanya mengancam kebebasan pers, tapi juga kabar buruk bagi masa depan perbaikan lingkungan hidup dan semangat reforma agraria,” tegasnya.
Ia mengaitkan dengan kondisi Kalteng yang sebenarnya kurang lebih sama saja dengan daerah lain di Indonesia, salah satunya terkait dengan izin yang dimiliki korporasi, masih banyak korporasi yang melakukan aktivitasnya di luar izin Hak Guna Usaha (HGU) dan hal ini hanya kegiatan jurnalistik investigasi lah yang banyak mengungkapnya.
“Di sektor perkebunan misalnya banyak yang masih belum memberikan plasma, sehingga terjadi konflik di beberapa titik khususnya wilayah Seruyan dan Kotim namun dipemberitaan justru yang di sampaikan Aparat penegak hukum (APH) bahwa terjadi pencurian, pejarahan namun tidak disampaikan apa penyebab terjadinya hal itu dan cenderung ditutup-tutupi, akan tetapi kegiatan teman-teman jurnalis yang melakukan investigasi langsung justru menemukan persoalan terjadi karena pihak korporasi tidak merealisasikan plasma,” ucapnya.
Ia menegaskan, jika kegiatan jurnalis investigasi dilarang, hal tersebut tidak hanya menghilangkan kebebasan pers justru malah penguasa dapat memberikan pemberitaan yang penuh dengan kebohongan demi kepentingan penguasa.
“Melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi sama dengan menjerumuskan Indonesia sebagai negara yang tidak demokratis,” tegasnya.
Selaras dengan Sandi, Akademisi Hukum Universitas Palangka Raya (UPR) Hilyatul Asfia juga menyebut media informasi saat ini mengambil peranan penting dalam penyebarluasan informasi dan menegakkan hukum.
“Kita belajar dari kasus Vina yang selama 8 tahun tidak ditemukannya salah satu tersangka pembunuhan. Namun Ketika berita itu viral, maka aparat penegak hukum mengambil alih dan terlibat dalam upaya penangkapan tersangka yang masih buron dari kasus tersebut,” katanya.
Merujuk Pasal 28 F atau UUD NRI 1945 dengan lugas menerangkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
“Amanat pasal tersebut tentu bertentangan dengan substansi RUU penyiaran yakni mengatur pelarangan penyiaran konten berita salah satunya investigasi jurnalistik,” ujarnya.
Selain itu, terdapat pasal lain yang dapat menjadi persoalan salah satunya kewenangan KPI dalam menyelesaikan sengketa pers, dapat menjadi tumpang tindih dengan dewan pers yang kini telah memiliki dan melaksanakan kewenangan tersebut.
“Ditambah lagi adanya suatu keharusan dari KPI untuk berkonsultasi kepada DPR menyelesaikan sengketa pers,” tambahnya.
Ia berharap agar draf revisi RUU Penyiaran ini harus dibuka secara meluas, agar mendapatkan masukan, partisipasi dari banyak pihak terutama komunitas pers sendiri.
“Jangan sampai ada larangan terhadap karya jurnalistik investigasi karena berpotensi terhadap mengkerdilkan kebebasan pers. Marwah media harus dijaga sebagai pilar keempat demkorasi, bersanding dengan kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai pengawas dan pelaksana demokrasi itu sendiri,” pungkasnya. jef